Oleh: Karyudi Sutajah Putra
Jakarta – Corruptor is fight back. Koruptor menyerang balik.
Demikianlah. Hal itu antara lain tercermin dari gugatan yang diajukan Plt Bupati Mimika, Papua, Johannes Rettob, terdakwa korupsi. Melalui kuasa hukumnya, Yasin Djamaluddin, ia mengajukan judicial review atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas kewenangan jaksa melakukan penyidikan perkara korupsi sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang (UU) No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.
Menurut dia, kejaksaan cukuplah memiliki wewenang penuntutan, sementara wewenang penyidikan perkara korupsi cukuplah menjadi milik polisi.
Sebelum ini, atau sejak 2007 hingga kini, setidaknya sudah ada tiga gugatan serupa yang diajukan para koruptor ke MK. Tiga gugatan tersebut tercatat dalam Putusan MK Nomor 28/PUU-V/2007, 16/PUU-X/2012, dan 21/PUU-XII/2014. Semuanya ditolak MK.
Kini, apakah MK akan konsisten menolak gugatan kewenangan penyidikan jaksa, atau justru mengabulkannya?
Kita tidak tahu. Namun, baru-baru ini MK mengeluarkan keputusan yang menunjukkan inkonsistensinya dalam sebuah perkara yang digugat. Pada 25 Mei 2023 lalu, MK mengabulkan judicial review terkait masa jabatan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari 4 tahun menjadi 5 tahun dalam Pasal 34 Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Hal itu tertuang dalam Putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022. Permohonan uji materi ini diajukan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron.
Padahal sebelumnya, MK selalu menolak permohonan serupa. Beberapa putusan yang berkaitan dengan hal demikian dinyatakan “open legal policy”, seperti Putusan MK Nomor 49/PUU-XI/2013 yang isinya mengenai pengujian Pasal 21 ayat (5) UU KPK tentang pimpinan KPK bekerja secara kolektif-kolegial.
Putusan MK memperpanjang masa jabatan Pimpinan KPK dinilai tidak pro pemberantasan korupsi. Masa jabatan 4 tahun saja sudah banyak masalah, apalagi 5 tahun. Lihat saja kasus dugaan pelanggaran etika yang beberapa kali dituduhkan kepada Ketua KPK Firli Bahuri. Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar juga terpaksa mengundurkan diri karena diduga menerima gratifikasi.
Lord Acton (1834-1902) bilang, “The power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely” (kekuasaan itu cenderung korup, kekuasaan yang absolute maka absolut pula korupsinya).
Dalam perkara uji materi UU Kejaksaan RI kali ini, apakah MK akan kembali tidak pro pemberantasan korupsi, dengan memereteli wewenang penyidikan perkara korupsi yang dimiliki kejaksaan?
Kita tidak tahu pasti. Yang jelas, kini koruptor sedang melakukan serangan balik. Jika MK mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan Plt Bupati Mimika itu maka kasus-kasus yang kini sedang ditangani kejaksaan akan menjadi tidak sah, seperti kasus dugaan korupsi proyek base transceiver station (BTS) yang melibatkan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate sebagai tersangka yang merugikan keuangan negara hingga lebih dari Rp8 triliun.
Gugatan tersebut juga diajukan di tengah kejaksaan yang sedang semangat-semangatnya memberantas korupsi sehingga pencapaiannya melampaui KPK dalam beberapa tahun terakhir ini.
MK, kini bola ada di tanganmu. Kejaksaan mau dibuat seperti macan ompong atau tetap bertaring, tergantung lembaga yang kini diketuai Anwar Usman, adik ipar Presiden Jokowi, itu.
Karyudi Sutajah Putra: Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI).