Indonesia tengah dihadapkan pada ancaman inflasi tinggi pada tahun ini. Bagi setiap negara tak terkecuali Indonesia, kenaikan inflasi yang signifikan jelas sebuah ancaman.
Mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Ronald Reagen menyebut inflasi sejahat perampok dan sama menakutkannya seperti pencuri bersenjata. Mantan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono menyebut inflasi sebagai musuh perekonomian sementara Presiden Joko Widodo menilai inflasi seperti ‘hantu’.
Inflasi dikhawatirkan tidak hanya menggerus daya beli tapi juga bisa menggerogoti pemulihan ekonomi, meningkatkan angka kemiskinan dan pengangguran, serta dalam jangka panjang bisa mengganggu pertumbuhan SDM Indonesia.
Inflasi bisa membuat kenaikan pendapatan tidak berarti karena kenaikan harga yang lebih cepat dari pendapatan bisa membuat satu barang menjadi tidak terjangkau. Dalam tiga tahun terakhir, Indonesia mencatatkan inflasi bawah 3%. Angka tersebut terbilang sangat rendah mengingat selama puluhan tahun, Indonesia hampir selalu mencatatkan inflasi di atas 4% bahkan pernah dua digit.
Namun, inflasi rendah pada dua tahun terakhir juga tidak bisa dilepaskan dari menurunnya permintaan akibat pandemi Covid-19 serta anjloknya pertumbuhan ekonomi global. Saat ekonomi mulai pulih dan harga komoditas pangan serta energi melonjak, Indonesia pun kembali dihadapkan pada persoalan klasik tingginya inflasi.
Sejumlah lembaga internasional dan nasional sudah merevisi proyeksi inflasi Indonesia untuk tahun ini. Bank Mandiri menaikkan proyeksi inflasi dari 3,3% menjadi 4,17%, UOB Bank telah merevisi proyeksi inflasi mereka dari 2,4% ke 3,3%, dan Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan inflasi Indonesia akan mencapai 3,6% pada tahun ini, melonjak dibandingkan pada tahun lalu (1,87%).
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono mengatakan inflasi sudah merangkak naik sejak awal tahun ini. Kenaikan dipicu melonjaknya harga komoditas pangan dan energi serta persiapan lebaran. Pada Maret lalu, Indonesia mencatat inflasi sebesar 0,66% (month to month/mtm) yang menjadi rekor tertingginya sejak Mei 2019 (0,68%) atau hampir tiga tahun.
Menurut Margo, sepanjang Januari-Maret, harga cabai, minyak goreng, roti tawar, sereal, mie kering, mie instan, bahan bakar rumah tangga, tahu, tempe, gula, daging, hingga telur ayam ras sudah naik signifikan.
Margo mengingatkan inflasi tinggi mesti diwaspadai karena bisa menambah beban pengeluaran masyarakat menengah bawah akibat kenaikan harga bahan pangan. Inflasi juga bisa membuat kemiskinan meningkat sebagai akibat kenaikan garis kemiskinan.
“Kenaikan inflasi mitra dagang juga berpengaruh kepada output perekonomian (cost push inflation). Jika output perekonomian berkurang, pengangguran berpotensi meningkat,” tutur Margo, dalam diskusi dalam diskusi bertajuk Harga Kian Mahal, Recovery Terganggu, Jumat (8/4/2022).
Inflasi Meningkatkan Kemiskinan dan Stunting, Menurunkan Pertumbuhan
Selama Maret 2021-September 2021, garis Kemiskinan naik dari Rp 472.525 per kapita per bulan pada Maret 2021, menjadi Rp 486.168 per kapita per bulan pada September 2021. Tingkat kemiskinan pada September 2021 tercatat 9,71%, turun dibandingkan periode Maret (10,14%).
Salah satu penyebab merosotnya tingkat kemiskinan adalah penurunan sejumlah komoditas makanan seperti beras, daging ayam ras, gula pasir, cabai rawit, cabai merah, dan telur ayam ras.
Kondisi sebaliknya terjadi saat ini di mana harga-harga sudah melonjak. Harga cabai rawit merah, misalnya, pada September 2021 dijual di kisaran Rp 35.000 per kg sementara di bulan April tahun ini sudah melonjak di kisaran RP 60.000 per kg.
Daging ayam ras harganya sudah naik ke kisaran Rp 37.000 per kg pada minggu pertama April 2022 dibandingkan Rp 34.000 per kg pada September tahun lalu. Pada periode yang sama, harga telur ayam sudah naik menjadi sekitar Rp 26.000 per kg dari Rp 24.000 per kg.
Kenaikan komoditas makanan juga bisa berimbas pada perkembangan SDM Indonesia. Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) dalam Analysis of Food Prices and Stunting Prevalence in Indonesia mengatakan saat harga naik, rumah tangga Indonesia cenderung menurunkan konsumsi makanan mereka, terutama karbohidrat dan protein.
Kondisi ini bisa mempengaruhi daya kembang SDM Indonesia. Menurut CIPS, setiap kenaikan beras sebesar Rp 1000 per kg maka konsumsi beras akan turun 0,67 per kapita per bulan.
Penurunan konsumsi protein terutama daging juga dikhawatirkan bakal meningkatkan angka stunting di Indonesia. Hitungan CIPS menunjukan setiap pengurangan 1 kg konsumsi daging per bulan maka kemungkinan anak menjadi stunting naik hingga 1,52%. Setiap pengurangan 1 kg konsumsi daging ayam per bulan maka kemungkinan anak menjadi stunting naik hingga 0,39%.
Hubungan kenaikan harga dan kemungkinan stunting
Sejumlah lembaga sudah mengingatkan inflasi diperkirakan akan naik tajam dalam beberapa bulan mendatang karena faktor musiman Lebaran, kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11%, juga kenaikan BBM.
Dalam hitungan Bank Mandiri, setiap kenaikan 10% tarif listrik maka inflasi akan ikut menanjak 0,4 poin persentase (ppt). Bila harga bensin dan solar naik hingga 10%, maka inflasi akan terdongrak 0,4 ppt.
Jika harga Elpiji 3 kg naik hingga 10% maka bisa menambah tekanan inflasi sebesar 0,2 ppt. Sementara itu, setiap 10% kenaikan harga minyak goreng maka inflasi akan terdongrak 0,1 ppt.
Bank Mandiri juga memperkirakan setiap kenaikan inflasi sebesar 1% maka pertumbuhan Indonesia bisa turun 0,21%.
Bunga KPR pun Terancam Melonjak Karena Inflasi Naik
Kenaikan inflasi tidak hanya berimbas kepada masyarakat berpenghasilan rendah. Mereka yang berpenghasilan menengah pun bisa terimbas dari lonjakan inflasi. Salah satunya dalam bentuk ancaman kenaikan bunga pinjaman perbankan baik untuk pinjaman kendaraan, kredit usaha ataupun rumah.
Bank sentral biasanya akan menaikkan suku bunga acuan untuk meredam lonjakan inflasi. AS mencatatkan inflasi tahunan sebesar 8,5% per Maret 2022, atau lebih tinggi dari inflasi tahunan bulan sebelumnya sebesar 7,9%.
Hal ini berimbas pada kenaikan bunga pinjaman perbankan. Kekhawatiran ini sudah terjadi di Amerika Serikat (AS). Bunga kredit perumahan di AS merangkak naik seiring lonjakan inflasi di Negeri Paman Sam.
Tingkat hipotek atau KPR di AS untuk bunga tetap 30 tahun rata-rata berada di angka 4,72% pada pekan lalu. Angka ini tersebut lebih tinggi dibandingkan pada pekan sebelumnya yang berada di angka 4,67%. Kenaikan tingkat hipotek sudah melonjak 1,5% dalam waktu tiga bulan terakhir. Peningkatan tersebut juga menjadi yang tercepat sejak Mei 1994.
Hingga kini, Bank Indonesia masih mempertahankan suku bunga acuan mereka di level 3,5% sejak Maret 2021. Namun, pasar memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga sebesar 25-50 bps pada tahun ini karena ekspektasi inflasi tinggi.
Dalam catatan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), bunga KPR biasanya merespon cepat kenaikan suku bunga acuan. Saat BI melakukan pengetatan moneter secara agresif pada tahun 2018, bunga KPR juga naik cepat.
Pada periode Mei-November 2018, suku bunga acuan BI meningkat 50 bps dari 5,50% di Mei menjadi 6% di November. Pada periode yang sama, rata-rata bunga KPR naik dari 9,49% menjadi 10,70%.
Berdasarkan data OJK, Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) rata-rata untuk KPR pada Januari 2022 ada di level 8,84%. Tingkat bunga tersebut bisa saja terkerek cepat jika BI menaikkan suku bunga tahun ini.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan kenaikan inflasi kemungkinan akan membuat BI menaikkan suku bunga acuannya. Sebagai dampaknya, bunga pinjaman perbankan pun akan meningkat.
“Yang terdampak kenaikan inflasi dan suku bunga acuan BI adalah KPR dengan bunga floating. Mungkin bisa naik 1-2% pada tahun 2022. Yang sekarang di 7,5% bisa menjadi 9,5%,” tutur Bhima, kepada CNBC Indonesia.
Bhima menambahkan kenaikan bunga KPR akan menjadi hantaman kesekian bagi sector properti tahun ini. Sektor tersebut dikhawatirkan sudah terdampak oleh kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), kenaikan harga barang konstruksi, serta perabotan.