OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Ada berbagai persoalan di sekitaran petani yang perlu kuta renungkan bersama. Apakah benar berkiprah menjadi petani di negeri ini identik dengan memasuki dunia kemiskinan ? Apakah betul, banyak nya anak muda perdesaan yang enggan menjadi petani disebabkan ada nya fakta bahwa profesi petani itu bukanlah mata pencaharian yang menjanjikan ?
Apakah benar-benar bisa dipertanggungjawabkan bila ada pihak yang menyimpulkan, menjadi petani hari ini, bukanlah pilihan terbaik yang dapat ditempuh oleh warga bangsa ? Dan tentu saja masih berjubel pertanyaan-pertanyaan lain seputar petani yang hingga saat ini masih menarik untuk dibincangkan.
Pertanyaan-pertanyaan diatas, bukanlah persoalan yang gampang untuk dijawab. Untuk menjawab nya dibutuhan kebesaran hati dan kejujuran. Petani adalah profesi yang penuh dengan kemulyaan. Menjadi petani di negeri ini butuh keberanian. Tidak semua anak bangsa mempunyai keyakinan, berkiprah menjadi petani adalah langkah awal menuju kehidupan yang lebih baik.
Akan tetapi, bila kita cermati fakta kehidupan di lapangan, ternyata sebagian besar anak muda enggan untuk menjadikan petani sebagai jalan hidup nya. Anak muda perdesaan saja sudah terkesan alergi dengan yang nama nya petani, tentu dapat dibayangkan bagaimana mind-set yang terbangun di benak nya anak muda perkotaan. Ketimbang jadi petani, mereka lebih memilih untuk bekerja serabutan di perkotaan.
Suasana perdesaan sekarang, rupa nya masih belum mampu menarik anak muda untuk dapat berkiprah di dalam nya. Perdesaan belum bisa menjadi magnet kehidupan yang dapat membawa anak muda untuk terlibat di dalam nya. Di mata anak muda, suasana perdesaan betul-betul penuh dengan keterbelakangan dan ketertinggalan. Perdesaan bukan harapan masa depan.
Akibat nya wajar, kalau anak muda lebih memilih untuk berkiprah di perkotaan dalam membangun kehidupan nya. Mereka meyakini, perkotaan adalah masa depan kehidupan nya. Daya tarik perkotaan seolah-olah mampu menghipnotis anak muda untuk mengisi nya. Walau di perkotaan tidak ada pekerjaan yang diimpikan nya, namun mereka lebih memilih untuk tinggal di perkotaan, sekali pun harus bekerja sebagai buruh harian lepas.
Inilah fenomena anak muda di era Milenial. Mereka lebih mengedepankan harapan ketimbang kenyataan. Mereka lebih tertarik kepada gaya hidup yang sofistikasi dari pada yang bernuansa kerakyatan. Tampilan animasi dan teknologi informasi lebih mempengaruhi kehidupan nya, dibandingkan dengan realitas kehidupan yang sesungguh nya. Catatan kritis yang dapat disampaikan apakah mereka ini masih memiliki ketertarikan untuk menjadi petani ?
Beberapa tahun ke belakang, ramai dikampanyekan soal Petani Milenial. Muncul nya gagasan untuk melahirkan Petani Milenial seolah-olah akan mampu menjawab masalah regenerasi petani. Apakah betul demikian ? Ah….rasa-rasa nya tidak. Petani Milenial lebih mengemuka sebagai pencitraan oknum-oknum tertentu yang ingin mencuri adegan politik, dari pada mampu menjawab akar masalah regenerasi petani itu sendiri.
Bukan saja dari sisi kualitas Petani Milenial ini patut diperbincangkan, namun dari sisi kuantitas pun terekam masih jauh dari yang diharapkan. Peluang menjadi Petani Milenial benar-benar sangat terbatas. Secara kuantitas masih belum sebanding dengan jumlah petani yang Non Milenial. Yang berminat pun tidak banyak. Dari pengalaman yang ada, hanya sekitar 9 ribuan orang saja yang mendaftar. Yang lolos hanya sekitar 2200 orang saja.
Pengalaman di Jawa Barat, terbukti tinggal sebagian kecil saja diantara mereka yang direkrut menjadi Petani Milenial masih mampu bertahan. Sebagian dari mereka sudah mundur di tengah jalan. Mereka umum nya masih belum siap untuk tampil menjadi Petani Pengusaha. Hanya saja, kita sendiri tidak tahu persis mengapa mereka tidak terus bertahan untuk mengikuti program Petani Milenial.
Yang kita pahami, untuk menjadi seorang petani itu, tidaklah sama dengan mencetak kue bandros. Namun, seorang petani di negeri ini perlu memiliki nilai-nilai kepetanian yang hanya dapat dirasakan oleh orang-orang yang terlibat secara nyata dalam budaya petani itu sendiri. Arti nya, mana mungkin anak muda perkotaan akan mampu tandang menjadi petani yang sesungguh nya.
Hal lain yang penting dibahas lebih lanjut, ternyata ada juga anak muda yang tidak sepemikiran dengan istilah Petani Milenial. Mereka lebih memilih jargon sebagai Petani Muda. Dalam pandangan mereka, kata Milenial itu lebih dibatasi oleh kurun waktu. Jadi kalau era Milenial nya selesai, maka apakah Petani Milenial nya pun harus ikut selesai dan digantikan lagi oleh era baru ? Sedangkan, kalau istilah Petani Muda, tentu akan dapat berlangsung selama diri nya mengaku muda.
Sebaik nya kita tidak menjebakan diri pada perdebatan soal istilah. Yang lebih esensial untuk dipikirkan adalah bagaimana agar proses alih generasi petani dapat berjalan dengan baik dan lancar. Semangat inilah, sepatut nya yang tumbuh di benak para penentu kebijakan. Jangan sampai negara agraris tidak ada petani nya. Itu sebab nya, disamping Pemerintah sekarang tampak giat mengembangkan Food Estate, Korporasi Petani dan Lumbung Pangan, seharus nya pula Negara segera memikirkan soal alih generasi petani itu sendiri.
Regenerasi Petani, perlu dicarikan solusi cerdas nya. Pemerintah sendiri sepantas nya fokus menangani nya. Mulai Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota penting untuk memiliki “jejaring berpikir” yang sama dalam hal regenerasi petani. Jangan sampai antara Presiden dan Kepala Daerah berbeda pola pikir. Sebab, untuk menyelamatkan bangsa ini dari “kepunahan” petani, mau tidak mau, kita perlu menangani nya dengan penuh kesungguhan fan tidak setengah hati.
Petani itu merupakan profesi yang penuh dengan keberkahan. Bukan saja yang dihasilkan nya itu mampu memberi makan orang-orang kota, namun kalau digarap dengan serius dan mendapat perlindungan nyata dari Negara, berkiprah di dunia pertanian, tentu akan mampu membuahkan kebahagiaan. Masalah nya adalah mengapa hingga kini, nasib dan kehidupan petani masih memprihatinkan ? Hal inilah yang butuh jawaban secara terang benderang. (PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).