Oleh: Nazaruddin
Wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional bagi Soeharto kembali mengguncang kesadaran publik. Bagi sebagian orang, Soeharto adalah simbol ketertiban, stabilitas, dan kemajuan ekonomi. Namun bagi sebagian lainnya, nama itu adalah bayang-bayang panjang represi, pembungkaman, dan kekerasan negara. Perdebatan ini menegaskan satu hal: bangsa ini belum selesai berdamai dengan masa lalunya.
Pendukung Soeharto umumnya datang dari tiga arus besar. Pertama, mereka yang diuntungkan selama Orde Baru—birokrat, pengusaha kroni, atau elite politik yang hidup dari patronase kekuasaan. Bagi kelompok ini, Orde Baru bukanlah tirani, melainkan tatanan yang stabil dan menguntungkan.
Kedua, mereka yang kecewa terhadap situasi politik dan ekonomi dalam dua dekade terakhir. Demokrasi dianggap gagal menyejahterakan, sementara masa Soeharto dikenang dengan harga beras murah, pertumbuhan ekonomi tinggi, dan rasa aman—betapapun semu.
Ketiga, generasi pasca-Orde Baru yang tidak pernah mengalami langsung represi politik. Mereka mengenal Soeharto lewat meme, video nostalgia, atau buku pelajaran yang memuja “Bapak Pembangunan” tanpa menyentuh sisi gelapnya.
Namun di sisi lain, ada suara-suara yang tak pernah padam menolak glorifikasi itu. Mereka adalah para korban represi politik, keluarga korban pelanggaran HAM, para aktivis, dan kaum intelektual kritis yang percaya bahwa negara tidak boleh kehilangan moral ingatannya. Mereka tahu, pembangunan yang dibanggakan Orde Baru berdiri di atas fondasi ketakutan—dengan pembungkaman media, pelarangan partai, dan penjara bagi perbedaan pendapat.
Menjadikan Soeharto pahlawan berarti mengaburkan garis etika sejarah. Ini bukan soal menolak pembangunan, melainkan menolak pelupaan. Sebuah bangsa hanya bisa tumbuh bila ia jujur terhadap masa lalunya, bukan dengan menutupi luka di balik jargon “stabilitas nasional.” Bila pelanggaran HAM, korupsi, dan represi dianggap sebagai pengorbanan demi pembangunan, maka kita sedang mewariskan kepada generasi muda logika berbahaya: bahwa kekuasaan boleh sewenang-wenang asal hasilnya tampak makmur.
Soeharto mungkin akan terus dikenang, tetapi penghormatan negara dalam bentuk gelar pahlawan adalah perkara moral, bukan nostalgia. Dan bangsa yang sehat adalah bangsa yang berani berkata: tidak semua yang membangun layak dimuliakan. Sebab pahlawan sejati bukan yang menaklukkan rakyatnya, melainkan yang memanusiakan mereka.

Oleh: Nazaruddin





















