Oleh: Damai Hari Lubis – Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Pernyataan dua pakar IT, Dr. Roy Suryo dan Dr. Rismon, bahwa ijazah Presiden Jokowi 100 persen palsu, diperkuat oleh temuan menarik dari para penggugat ijazah SMA Jokowi di Pengadilan Negeri Surakarta. Salah satu temuan utama berasal dari kesaksian mantan anggota KPU Daerah Surakarta, yang menyebut bahwa Jokowi saat mendaftar sebagai calon Wali Kota Surakarta menyertakan dua gelar kesarjanaan sekaligus: Drs. (Doktorandus) dan Ir. (Insinyur Kehutanan).
Namun, sebagaimana informasi yang beredar luas, baik saat mendaftar di KPU DKI untuk Pilkada Gubernur Jakarta maupun di KPU RI menjelang Pilpres 2014, Jokowi disebut-sebut tidak pernah menunjukkan ijazah asli. Yang ditunjukkan hanyalah fotokopi ijazah yang dilegalisir—tanpa kehadiran fisik dokumen aslinya.
Tambahan informasi dari masyarakat menyebutkan bahwa ijazah milik Jokowi konon dicetak di kawasan Pasar Pramuka, Jakarta Timur—yang dikenal bukan sebagai tempat legal pencetakan dokumen resmi, melainkan pusat jual-beli ijazah palsu. Fakta-fakta ini seharusnya mendorong Bareskrim Polri untuk melakukan investigasi ulang secara khusus, mengingat perkara ini tergolong sebagai delik biasa, bukan delik aduan. Maka penyelidikan bisa dilakukan tanpa menunggu laporan dari pihak tertentu.
Dalam konteks ini, Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) tertanggal 22 Mei 2025 yang dikeluarkan oleh Bareskrim atas pengaduan TPUA (Tim Pembela Ulama dan Aktivis), menjadi tidak valid dan harus dianulir. SP2HP tersebut berisi pemberitahuan bahwa hasil penyelidikan menyimpulkan ijazah Jokowi adalah asli—berdasarkan kemiripan fisik semata.
Masalahnya, Jokowi hingga kini tidak pernah menyatakan secara terbuka bahwa ia adalah sarjana bergelar Doktorandus. Bahkan, dalam berbagai biografi resmi yang tercantum di kanal publik seperti Google Maps, yang mengacu pada data dari KPU Surakarta, KPU DKI, maupun KPU RI, tidak ditemukan gelar Drs. di depan namanya.
Maka dari itu, demi tegaknya kepastian hukum, laporan-laporan yang dibuat oleh pihak Jokowi atau para loyalisnya seyogianya dihentikan sementara. Sebaliknya, Bareskrim harus memfokuskan diri untuk membuka kembali pengaduan dari TPUA melalui surat resmi yang membatalkan SP2HP sebelumnya, termasuk meninjau ulang dasar hukum dari SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyelidikan) terkait perkara ijazah palsu tersebut.
Akhirnya, Bareskrim dituntut untuk bersikap transparan dan menyatakan kepada publik bahwa penyelidikan terkait dugaan ijazah palsu Presiden Jokowi dibuka kembali. Demi manfaat dan kepastian hukum, SP2HP yang hanya berisi kesimpulan prematur dan belum berlandaskan investigasi menyeluruh harus dianulir. Logika hukum mengharuskan agar semua proses ini ditempuh secara objektif dan independen, bukan berdasar tekanan politik atau loyalitas institusional.
Oleh: Damai Hari Lubis – Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)





















