FusilatNews – Kontroversi mengenai ijazah S1 Presiden Joko Widodo kembali mencuat. Kali ini, isu tersebut kembali viral setelah muncul klaim baru bahwa dokumen tersebut diduga “palsu beneran.” Seperti yang sudah berulang kali terjadi, rakyat kembali mempertanyakan keabsahan ijazah tersebut dan membawanya ke ranah hukum. Namun, respons dari Jokowi tetap sama: diam dan tak menunjukkan ijazah aslinya.
Mengapa Isu Ini Tak Kunjung Reda?
Sejak pertama kali dipersoalkan, isu keaslian ijazah Jokowi selalu menjadi bahan perdebatan. Sebagian pihak menilai bahwa tuduhan ini adalah bentuk serangan politik, sementara yang lain menekankan pentingnya transparansi dari seorang kepala negara. Namun, yang membuat isu ini tetap bergulir adalah tidak adanya upaya konkret dari Jokowi untuk menepis keraguan publik. Jika benar ijazahnya sah, mengapa ia tak segera menunjukkan dokumen aslinya?
Dalam berbagai kasus serupa di negara lain, seorang pejabat publik yang diragukan kredensial pendidikannya biasanya segera menunjukkan bukti untuk meredam spekulasi. Namun, yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya—pemerintah dan institusi terkait tampak membiarkan isu ini berkembang tanpa jawaban yang memuaskan.
Dibawa ke Ranah Hukum, Lalu Apa?
Baru-baru ini, beberapa pihak kembali membawa kasus ini ke ranah hukum, berharap ada kejelasan yang lebih konkret. Namun, mengingat bagaimana kasus-kasus sebelumnya berakhir tanpa titik terang, publik pun mulai skeptis: apakah upaya hukum ini akan menghasilkan sesuatu, atau hanya menjadi rangkaian drama politik yang berujung pada kesimpulan menggantung?
Jika pengadilan akhirnya benar-benar menyelidiki secara transparan, maka ini bisa menjadi momentum penting dalam menegakkan prinsip akuntabilitas pemimpin. Namun, jika kasus ini kembali menguap tanpa penyelesaian, maka wajar jika muncul kecurigaan bahwa ada kekuatan besar yang berusaha menutup-nutupi kebenaran.
Siluman dalam Demokrasi?
Fenomena seperti ini mengingatkan kita pada istilah siluman—sesuatu yang keberadaannya diragukan tetapi tetap memiliki pengaruh. Dalam konteks ijazah Jokowi, pertanyaan yang lebih besar mungkin bukan hanya soal keabsahan dokumen itu sendiri, tetapi bagaimana sistem demokrasi kita bisa membiarkan isu semacam ini tak terselesaikan selama bertahun-tahun.
Jika seorang presiden saja bisa lolos dari keharusan membuktikan kredensial akademisnya, bagaimana dengan pejabat-pejabat lain? Jika transparansi bisa dikalahkan oleh sikap diam, lalu apa arti demokrasi yang kita banggakan?
Pada akhirnya, masyarakat berhak mendapatkan kejelasan. Dan semakin lama Jokowi menghindari untuk menunjukkan bukti yang sahih, semakin kuat pula dugaan bahwa ada sesuatu yang memang ingin disembunyikan.