Damai Hari Lubis-Pengamat Kebijakan Umum Hukum dan Politik
Judul artikel ini diambil dari salah satu narasi yang muncul di media online terkemuka, di mana Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan bahwa jika ada kecurigaan korupsi dalam tubuh Pertamina, maka sudah sejak dulu tindakan tegas diambil. Pernyataan ini muncul di tengah merebaknya skandal kejahatan oplosan Pertamax dan Pertalite yang terjadi pada 2015 hingga 2018—periode yang jelas berada dalam masa pemerintahannya.
Namun, pernyataan ini justru mengundang lebih banyak pertanyaan ketimbang jawaban. Bagaimana mungkin seorang presiden yang mengklaim memiliki komitmen tinggi terhadap pemberantasan korupsi bisa luput dari skandal besar yang terjadi dalam BUMN strategis seperti Pertamina? Apalagi, data dan fakta empirik menunjukkan bahwa Jokowi sering kali hanya berbicara tanpa aksi nyata, sehingga publik menjulukinya sebagai “King of Lip Service”.
Lebih dari itu, pertanyaan yang muncul bukan hanya soal inkonsistensi pernyataan Jokowi, tetapi juga mengenai keberanian lembaga penegak hukum—dalam hal ini Kejaksaan Agung—untuk bertindak. Apakah Jaksa Agung akan berani memerintahkan penuntut umum untuk menyelidiki keterlibatan Jokowi dalam dugaan pembiaran atau bahkan keterlibatan aktif dalam kasus ini? Jika prinsip presumption of facti (fakta empirik) dan presumption of innocence (praduga tak bersalah) dijalankan secara berimbang, maka tidak ada alasan bagi hukum untuk tidak menyentuh orang yang berkuasa sekalipun.
Kasus ini semakin menarik ketika laporan dari Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP), sebuah lembaga investigasi berbasis di Eropa, menyebutkan bahwa pada akhir tahun 2024 Jokowi disebut-sebut sebagai presiden paling korup nomor dua di dunia setelah Bashar al-Assad dari Suriah. Meski laporan ini masih berupa prediksi berdasarkan pola kebijakan dan dugaan korupsi yang beredar, dampaknya terhadap citra kepemimpinan Jokowi tidak bisa dianggap remeh. Jika temuan OCCRP terbukti akurat, maka ini akan menjadi pukulan telak bagi kredibilitas pemerintahannya.
Dalam skema lebih luas, kasus ini mencerminkan dilema besar dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Di satu sisi, ada retorika kuat dari pemerintah tentang perang terhadap korupsi, tetapi di sisi lain, ada indikasi kuat bahwa sistem hukum masih tunduk pada kepentingan politik penguasa. Kasus-kasus besar yang melibatkan lingkaran elite kekuasaan sering kali berakhir tanpa kejelasan atau bahkan ditutup begitu saja.
Maka, pertanyaannya bukan lagi sekadar apakah Jokowi tahu atau tidak tentang skandal korupsi Pertamina, tetapi lebih kepada apakah sistem hukum di Indonesia mampu bertindak independen untuk mengusut kasus ini hingga ke akar-akarnya. Jika tidak, maka sekali lagi rakyat hanya akan disuguhi drama politik yang sama: retorika tanpa realisasi.