OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Menghadapi panen raya padi kali ini, Pemerintah telah meminta Perum Bulog untuk menyerap hasil panen petani sebanyak-banyaknya. Dalam bahasa matematiknya disebut “tak terhingga”. Beberapa pihak menyatakan Perum Bulog mesti mampu tampil sebagai offtaker plat merah yang akan membeli gabah petani. Pemerintah juga meminta agar Perum Bulog membeli gabah petani dengan harga wajar sesuai dengan aturan yang ada.
Panen raya padi merupakan momen yang ditunggu-tunggu oleh para petani. Sebagian besar dari mereka berpandangan, panen raya merupakan kesempatan untuk berubah masib dan kehidupan. Petani selalu berharap agar dalam panen raya, bukan hanya produksi yang meninfkat, namun harga gabahnya pun mampu memberi keuntungan maksimal bagi petani.
Namun begitu, fakta kehidupan yang dihadapi petani, tidaklah seindah kata yang diimpikan petani. Setiap panen raya, ternyata harga gabah di tingkat petani selalu anjlok, jauh dibawah harapan para petani. Anehnya, Pemerintah sendiri, seperti yang tidak berdaya mencari jalan keluar terbaik. Anjloknya harga gabah selalu berulang setiap panen raya tiba.
Pertanyaan kritisnya adalah bagaimana dengan panen raya sekarang ? Apakah suasananya akan seperti panen raya sebelumnya, dinana harga gabah di petani akan anjlok lagi ? Atau tidak, dimana di era Pemerintahan Presiden Prabowo akan terjadi perubahan mendasar dalam pengelolaan panen raya padi ini ? Ya, jawaban inilah yang dinanti petani.
Seperti disampaikan Menko bidang Pangan di penghujung tahun 2024 lalu, Pemerintah menjamin akan menyerap sebanyak-banyaknya gabah yang dihasilkan petani dengan harga yang tidak merugikan petani. Penegasan Pemerintah ini, tentu saja mampu membuat petani padi merasa nyaman dalam menyambut datangnya panen raya mendatang. Rasa was-was petani pun pupus dengan sendirinya.
Jaminan Pemerintah seperti inilah sesungguhnya yang diharapkan para petani. Persoalannya, mengapa Pemerintah sebelum Presiden Prabowo manggung, tidak ada satu pun Pemerintahan yang berani membuat penjaminan seperti itu ? Pemerintah memang harus berpihak dan melindungi petani. Undang Undang No.19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani telah mengamanatkannya.
Bagi petani adanya Pemerintah yang berpihak, betul-betul sebuah anugerah yang patut disyukuri. Tanpa keberpihakan Pemerintah, omong kosong petani akan mampu “melawan” oknum-oknum yang ingin meminggirkan kaum tani dari pentas pembangunan. Termasuk dalam memasuki panen raya, yang selama ini ada pihak yang doyan menurunkan harga gabah di tingkat petani.
Sebagai offtaker plat merah, Perum Bulog memiliki berbagai kelebihan ketimbang offtaker swasta. Perum Bulog pasti akan menyerap gabah petani dengan tidak lagi melihat untung rugi. Bulog ke depan bakal berbeda dengan Bulognya IMF yang menuntut lembaga pangan ini harus selalu untung. Maunya Presiden Prabowo Bulog menjadi lembaga otonom Pemerintah kembali.
Sebagai offtaker, Bulog tentu harus bersaing dengan bandar/tengkulak/pedagang/pengusaha gabah di lapangan. Selain memiliki modal kemauan politik Pemerintah, Bulog memperoleh jaminan Pemerintah untuk membeli gabah dengan harga wajar, sesuai dengan aturan yang ditetapkan. Kebijakan ini, mestinya tidak ada lagi pihak-pihak yang menekan harga di tingkat petani.
Itu sebabnya, agar dalam proses “persaingan sehat” untuk mendapatkan gabah petani, sedini mungkin Bulog perlu menyiapkan diri agar tampil sebagai offtaker yang piawai dan profesional. Pengalaman 21 tahun Bulog jadi Perusahaan Plat Merah, harusnya Bulog telah memahami luka liku menjadi pebisnis yang handal. Pengalaman ini, bisa diterapkan lagi dalam panen raya padi musim ini.
Bulog tidak boleh lagi menjebakan diri sebagai “pemadam kebakaran”. Artinya, setelah panen berlangsung, Bulog baru turun ke lapangan. Jangan lagi seperti itu kebijakannya. Namun, kini saat yang tepat, Bulog menerapkan pendekatan “deteksi dini”. Artinya, jauh-jauh hari sebelum panen raya tiba, Bulog sudah melskukan incognito ke daerah-daerah dan bincang-bincang dengan para petani.
Kesigapan Bulog menyerap gabah petani, akan terasa lebih mjdah, jika produksi beras secara nasional melimpah ruah. Akan tetapi, bila kondisinya seperti tahun 2024, yang menunjukkan produksi berasnya anjlok bahkan angkanya lebih rendah ketimbang produksi beras tahun 2023, tentu saja menjadi soal tersendiri yang butuh penanganan secara khusus.
Bohong besar, Bulog akan gampang menyerap gabah petani, sekiranya produksi beras anjlok dengan angka cukup signifikan. Itu sebabnya, masalah produksi beras ini, tetap harus menjadi titik tekan dalam pemenuhan kebutuhan beras di dalam negeri. Hanya, kurang elok juga bila Pemerintah hanya berfokus ke upaya penggenjotan produksi semata, dengan menganak-tirikan langkah penanganan sisi konsumsinya.
Bila produksi anjlok karena ada sesuatu masalah yang tak mampu dijawab dengan cepat seperti sergapan El Nino dua tahun lalu, kemudian Pemerintah telah mengumumkan bangsa kita tidak akan impor beras tahun 2025, lalu problemnya dari mana lagi kita akan memperoleh beras, jika kebutuhan beras dalam negeri membengkak cikup besar ?
Inilah “pe-er” besar bagi bangsa, kalau hal itu betul-betul terjadi. Menggenjot produksi beras, betul sebuah kebutuhan mendesak yang mesti ditempuh saat ini. Akan tetapi, jangan disepelekan pula langkah untuk menekan laju konsumsi masyarakat terhadap beras. Kedua aspek ini, produksi dan konsumsi, seharusnya digarap secara berbatengan. (PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).