Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Analis Politik Konsultan & Survei Indonesia (KSI)
Jakarta – Ahmad Sahroni sedang kena batunya. Ini baru batu pertama. Ia dicopot dari jabatannya sebagai Wakil Ketua Komisi III DPR dan dipindahkan ke Komisi I. Sebagai anggota biasa, bukan pimpinan sebagaimana di Komisi III.
Komisi III membidangi masalah hukum dan bermitra dengan Polri, Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sedangkan Komisi I membidangi masalah politik luar negeri dan informasi, dan bermitra dengan Menteri Luar Negeri dan Menteri Komunikasi dan Digital.
Batu kedua mungkin akan menghampiri Sahroni. Ia bisa saja di-recall atau mengalami Pergantian Antar Waktu (PAW) jika desakan publik untuk itu terus menguat.
Sahroni adalah Bendahara Umum Partai Nasdem. Mungkinkah ia dicopot dari DPR? Dalam politik tak ada yang tak mungkin. Lalu, apa biang keroknya sehingga Sahroni terantuk batu?
Pangkalnya adalah sifat tolol Sahroni sendiri dalam menanggapi desakan pembubaran DPR oleh publik. Sultan Priok itu bilang: orang yang mendesak pembubaran DPR adalah orang paling tolol sedunia.
Sahroni mengklaim, para anggota DPR adalah orang-orang pintar semua. Adapun orang yang mengusulkan pembubaran DPR, kata dia, adalah orang-orang yang belum pernah menjadi anggota DPR.
Mulutmu harimaumu, mengerkah kepalamu. Karena mulut yang tak terkendali itulah Sahroni kemudian terantuk batu: dicopot dari jabatan yang memberinya peluang untuk mengintervensi aparat penegak hukum dari institusi Polri, Kejaksaan Agung dan KPK.
Sahroni bisa disebut tolol karena gagal memahami bahasa rakyat.
Rakyat tidak tolol-tolol amat. Rakyat tahu bahwa DPR tak mungkin dibubarkan, bagaimana pun kondisinya. Sebab keberadaan DPR merupakan amanat konstitusi atau Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Legislatif adalah bagian dari Trias Politika di antara eksekutif dan yudikatif. Ketiga unsur tersebut harus ada dalam suatu negara.
Desakan agar DPR dibubarkan adalah pernyataan spontan rakyat yang gerah, geram dan kecewa dengan ulah anggota DPR. Di saat rakyat susah karena kian beratnya beban hidup, DPR justru menaikkan tunjangan mereka. Tunjangan perumahan saja mencapai 50 juta rupiah per bulan per orang.
Di saat rakyat sedang menderita, para anggota DPR justru berjoget-joget ria. Hal ini terjadi saat Sidang Tahunan MPR, 15 Agustus lalu.
Jadi, usulan pembubaran DPR hanya ucapan spontan saja, karena rakyat sadar DPR tak mungkin dibubarkan.
Rakyat tidak tolol. Yang tolol justru Sahroni sendiri yang gagal memahami bahasa rakyat. Padahal dia adalah wakil rakyat.
Sebagai wakil rakyat, tak pantas Sahroni bergaya bahasa sarkastik. Sahroni bukan preman terminal. Sahroni adalah anggota DPR yang terhormat. Kalau orang yang terhormat saja bahasanya kasar, bagaimana dengan orang awam?
Yang tolol adalah Sahroni sendiri. Ia gagal memahami konstitusi, utamanya Pasal 28E UUD 1945 yang menjamin setiap warga negara untuk bebas berpendapat.
Ia gagal memahami UU No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Sebagai wakil rakyat, Sahroni juga gagal memberikan keteladanan bagi rakyat. Sebagai wakil rakyat, ia gagal memahami bahasa rakyat. Itulah sifat tolol yang setolol-tololnya. Mungkin orang paling tolol sedunia.

Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Analis Politik Konsultan & Survei Indonesia (KSI)




















