OLEH: ENTANG SASTRAATMADJA – Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat
Beras impor berkutu kembali mencuat dan menjadi isu panas di tengah sorotan publik. Temuan ini terjadi di gudang Perum Bulog Yogyakarta, menyusul kebijakan impor beras yang nilainya menyentuh angka triliunan rupiah. Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDIP, Mufti Anam, mempertanyakan akuntabilitas dan efisiensi pengelolaan beras impor, mengingat jumlah yang rusak bukan sedikit.
Saat ini, sebanyak 300 ribu ton beras impor memenuhi gudang-gudang Perum Bulog di berbagai wilayah. Nilainya ditaksir mencapai Rp3,6 triliun. Jika dihitung kasar, 300.000 ton dikalikan 1.000 kilogram dan harga Rp12.000 per kilogram, uang negara senilai triliunan rupiah bisa saja terbuang sia-sia hanya karena kelalaian dalam sistem penyimpanan.
Pertanyaannya, mengapa baru sekarang heboh? Jika bukan karena temuan para anggota Komisi IV DPR, mungkinkah persoalan ini tetap tertimbun di antara tumpukan karung beras? Bisa jadi, bila hanya ditemukan oleh petugas gudang biasa, hal ini dianggap rutin belaka.
Namun, karena kali ini yang menyuarakan adalah para wakil rakyat yang terhormat, wajar jika kasus ini menjadi konsumsi hangat publik. Terlebih, ketika diketahui bahwa beras berkutu itu berasal dari beras impor yang didatangkan pemerintah beberapa waktu lalu. Masalah pun menggelembung menjadi wacana nasional.
Pernyataan dari pejabat pemerintah bahwa dari 1,9 juta ton cadangan beras, sebanyak 100–300 ribu ton terindikasi berkutu, artinya sekitar 15,79% cadangan nasional berpotensi tidak layak konsumsi. Ini bukan sekadar soal teknis, tapi tamparan keras bagi kredibilitas pemerintah, terutama dalam manajemen logistik pangan.
Publik pun menuntut dua pertanyaan besar:
- Apakah ini akibat lemahnya sistem penyimpanan Bulog?
- Ataukah sekadar keteledoran petugas di lapangan?
Jawaban dari dua pertanyaan itu sangat penting, terlebih karena dalam waktu dekat Bulog harus menyimpan gabah dalam jumlah besar. Pengalaman ini seharusnya menjadi pelajaran mahal bagi manajemen Bulog.
Masalahnya, di tengah upaya penyelamatan harga gabah petani, pemerintah justru menetapkan harga beli Rp6.500/kg tanpa memperhatikan kadar air atau kotoran dalam gabah. Padahal sebelumnya, ada syarat kadar air maksimal 25% dan kadar hampa maksimal 10%. Kebijakan ini bisa menjadi bom waktu bagi sistem penyimpanan nasional.
Apalagi panen raya kali ini berbarengan dengan musim hujan. Gabah basah sulit dikeringkan secara cepat karena minimnya alat pengering. Maka, dapat dipastikan, Bulog akan menimbun gabah dengan kualitas di bawah standar. Bila tak ada perubahan sistem, maka kasus beras berkutu akan terus berulang, bahkan dalam skala lebih besar.
Gabah basah dengan kadar air tinggi sangat rentan rusak, cepat berjamur, dan menghasilkan beras berbau tak sedap serta kualitas rendah. Bila pengelolaan tak segera direvitalisasi, maka tujuan mulia menjaga ketahanan pangan akan berbalik menjadi malapetaka logistik dan keuangan.
Karena itu, temuan ini bukan hanya soal kutu di tumpukan beras. Tapi tentang lubang besar dalam sistem manajemen pangan nasional. Apakah kita akan membiarkannya?