Damai Hari Lubis-Pengamat Hukum Mujahid 212
Secara etimologi, TSM merupakan akronim dari Terstruktur-Sistematis-Masiv, yang mengandung makna dan konsep yang penting. Terstruktur merujuk pada suatu rencana atau tata letak yang telah disusun dan diatur dengan cermat. Sistematis menunjukkan upaya untuk menyusun sesuatu dengan logis dan teratur, membentuk suatu sistem yang lengkap dan terpadu, yang disusun dengan sengaja untuk menghasilkan urutan yang jelas dan terkait antara sebab dan akibat. Masiv menggambarkan sesuatu yang besar, kuat, dan padat. Istilah ini berkaitan dengan sinonim seperti kekar, kukuh, murni, dan padat, menunjukkan bahwa elemen yang dimaksud memiliki sifat yang solid dan tak tergoyahkan, tanpa keberadaan ruang kosong atau kelemahan.
Adapun pelanggaran dan kecurangan yang terjadi dalam proses Pemilu memiliki karakteristik TSM, yang harus dapat dibuktikan oleh pemohon saat mengajukan sengketa Hasil Perselisihan Pemilu (SHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK).
Terkait dengan konsep TSM, dapat dipahami melalui acuan yang terdapat dalam Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Perbawaslu) Nomor 8 Tahun 2018. Syarat formalnya adalah adanya laporan pelanggaran, sementara syarat materiilnya adalah terjadi pelanggaran hukum setidaknya di 50 persen daerah yang menjadi lokasi pemilihan, disertai dengan alat bukti seperti saksi dan barang bukti termasuk dokumen elektronik.
Perilaku pelanggaran atau kecurangan yang menjadi subjek sengketa, baik secara formal maupun materiil, harus telah terdokumentasi melalui laporan-laporan yang sebelumnya diajukan oleh pemohon kepada Bawaslu terkait pelanggaran hukum yang dilakukan atau dibiarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal ini dapat terbukti jika KPU dikenai sanksi oleh Bawaslu atau bahkan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), atau jika KPU, Bawaslu, dan bahkan DKPP dikenai sanksi melalui putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Syarat-syarat yang ditetapkan melalui putusan dari Bawaslu, DKPP, dan PTUN merupakan rumusan kejahatan pemilu yang direncanakan (TSM) atau dilakukan dengan sengaja dan berencana, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Dalam UU Pemilu, terdapat pengecualian durasi persidangan sengketa pemilu (SPHU) di PTUN yang memungkinkan proses sidang berlangsung paling lama 21 hari sejak gugatan dinyatakan lengkap. Selain itu, putusan PTUN dalam sengketa pemilu bersifat final dan mengikat, serta KPU wajib menindaklanjuti putusan tersebut dalam tempo paling lama 3 hari kerja.
Namun, durasi tersebut dapat berbeda jika pengajuan sengketa pilpres di PTUN dilakukan setelah pemilu pilpres, dan terdapat ketentuan untuk upaya hukum lainnya. Waktu yang tersedia akan terbatas oleh keharusan pelantikan dan sumpah presiden yang baru serta pelaksanaan tugasnya yang efektif, karena berakhirnya masa jabatan Presiden Jokowi.
Pendapat publik yang menyatakan bahwa “Sengketa Pemilu hanya cukup sampai dengan rekapitulasi hasil suara pemilu pilpres” adalah sebuah dalil yang keliru, meskipun datang dari pakar hukum, karena terdapat klausula eksplisit dalam Pasal 475 ayat (2) UU Pemilu yang mengatur tentang faktor yang memengaruhi Penentuan Terpilihnya Pasangan calon Presiden.
Segala bukti pelanggaran TSM melalui laporan dan sanksi putusan Bawaslu, DKPP, dan/atau PTUN yang diajukan oleh Para Pemohon 01 atau 03 dapat dijadikan sebagai pertimbangan hukum oleh Majelis Hakim MK. “Memengaruhi” berdasarkan asas keyakinan nurani hakim yang dapat merujuk kepada ASAS CONVICTION INTIME, sebagai pemutus sengketa SPHU. Dengan demikian, selisih angka hasil rekapitulasi oleh Termohon/KPU dapat diabaikan karena keyakinan hakim bahwa proses penyelenggaraan pemilu yang curang ternyata terjadi tidak hanya di satu atau dua daerah, namun banyak dilakukan di berbagai daerah (kota, kabupaten, dan/atau propinsi) hingga proses rekapitulasi melalui server asing di Singapura.
Dengan tanda-tanda gejala penyimpangan hukum yang serupa, baik dari pola maupun entitas yang terlibat yang dikenali dengan entitas yang memiliki motivasi yang sama untuk melakukan kecurangan demi kepentingan perolehan suara kontestan pilpres tertentu, hakim dapat menyatakan bahwa gugatan dikabulkan karena penyelenggaraan Pemilu oleh Termohon terbukti CACAT HUKUM, sehingga dibatalkan demi keadilan hukum.
Pertanyaan yang muncul di benak publik sebelum mereka memutuskan untuk mengajukan permohonan gugatan SHPU terhadap KPU di MK adalah apakah Tim Hukum 01 dan 03, yang jumlah advokatnya mencapai lebih dari 1000 orang, telah melaporkan temuan pelanggaran oleh KPU, termasuk pelanggaran yang dilakukan oleh siapapun pelakunya, ke BAWASLU, DKPP, atau PTUN, serta apakah mereka telah mendapatkan putusan yang berkualitas atau memiliki potensi signifikan terkait perolehan suara.
Jika hanya sedikit laporan dan putusan yang berasal dari ratusan pelanggaran (temuan dugaan publik), publik akan bertanya-tanya mengapa hal tersebut terjadi. Mungkin karena takut akan turun kelas atau dianggap biasa-biasa saja jika menjadi pelapor, atau mungkin ada alasan lain yang lebih tersembunyi.
Oleh karena itu, wajar jika animo masyarakat terhadap paslon capres mereka, baik 01 maupun 03, begitu besar. Mereka berharap agar Tim Hukum 01 dan 03, yang dipimpin oleh eks Ketua MK Hamdan Zoelva dan Mahfud MD serta kawan-kawannya, dapat membawa bukti hukum yang kuat dari berbagai putusan BAWASLU, DKPP, DAN ATAU PTUN jika kelak mereka kalah di MK.