Wacana penundaan Pemilu 2024 terus bergulir, meski di tengah terbelahnya suara masyarakat dan elite politik terhadap wacana yang berpotensi memperpanjang masa jabatan Presiden Joko Widodo itu. Terbaru, publik menyoroti ihwal analisis big data yang digunakan oleh sejumlah elite politik dan para pejabat yang mendukung wacana itu. Mereka mengeklaim publik mendukung wacana itu. Misalnya, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar yang menyuarakan wacana penundaan pemilu menyatakan dari 100 juta subyek akun di media sosial, sebanyak 60 persen mendukung penundaan pemilu, sedangkan 40 persen menolak. Sementara itu, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyebut ada 110 juta warga memiliki aspirasi Pemilu 2024 ditunda. Hal itu dikatakan Luhut dalam wawancara yang diunggah di sebuah akun Youtube.
Rakyat tak bisa diklaim
Menurut Sekretaris Jenderal (Sekjen) Persatuan Nasional Aktivis (PENA) 98 Adian Napitupulu, analisis big data tidak selengkap hasil survei lembaga survei nasional. Selain itu, analisis big data bahkan tidak dijelaskan secara ilmiah kepada publik. Di sisi lain, rakyat dinilai tidak bisa disangkutpautkan dalam wacana penundaan pemilu, tanpa bukti ilmiah yang jelas. “Kenapa paparan tersebut penting? Karena rakyat tidak bisa diklaim semena-mena, seolah semua atas kehendak rakyat,” tegas Adian dalam keterangannya, Sabtu (12/3/2022). Untuk itu, Adian meminta pihak pendukung wacana penundaan pemilu menggunakan analisis big data menjelaskan paparan ilmiahnya kepada publik. Ia mengingatkan, hasil sejumlah survei nasional justru menunjukkan bahwa publik menolak penundaan pemilu. Sebagai contoh, Adian menggunakan hasil lembaga survei LSI Denny JA yang menyebutkan 70,7 persen masyarakat menolak perpanjangan masa jabatan presiden, sedangkan hanya 20,3 persen setuju.
Manipulasi informasi
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indo Strategic Ahmad Khoirul Umam menilai klaim Luhut soal analisis big data merupakan sebuah manipulasi informasi. Dia meminta data itu dibuka kepada publik untuk diketahui kebenarannya. “Yang disampaikan Pak Luhut itu jelas manipulasi informasi. Big data 110 juta orang tidak merepresentasikan apa pun. Dibuka saja datanya,” kata Umam dalam diskusi Perpanjangan Masa Jabatan Menyisip Suksesi 2024 yang diselenggarakan Total Politik di Jakarta, Minggu. Ia menegaskan, tidak ada survei yang mengonfirmasi big data yang disebut Luhut tersebut. Sebaliknya, hampir semua lembaga survei menyatakan mayoritas masyarakat tidak setuju perpanjangan masa jabatan presiden atau penundaan pemilu. “Semua polster tidak mengonfirmasi itu. Setahun lalu, saya melakukan survei dan 80 persen menolak perpanjangan masa jabatan. Tapi kemudian digunakan bahasa yang sumir, big data,” ucapnya.
Wacana yang kehilangan pamor
Sementara itu, Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes mengkritik wacana penundaan pemilu justru telah kehilangan pemor. Hilangnya pamor itu, kata dia, karena penolakan publik justru relatif kencang dibandingkan yang mendukung. “Publik menolak, peta politik di Senayan berubah total,” kata Arya dalam diskusi Total Politik, Minggu. Senada dengan Khoirul Umam, Arya juga menggunakan hasil survei opini publik dari lembaga survei kredibel. Ia mengatakan, publik memiliki kecenderungan untuk menolak usulan perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan pemilu 2024. “Survei opini publik hasilnya sudah jelas. Kalau dari lembaga-lembaga big data kredibel, banyak orang yang enggak setuju,” tambahnya.
Dugaan kepentingan elite
Tak hanya pengamat, kritik juga terus dilancarkan oleh partai politik yang menolak wacana penundaan pemilu. Partai Demokrat, misalnya, menilai wacana tersebut telah disusun dengan rapi bak sebuah panggung orkestrasi. Demokrat menduga mereka yang menyusun penundaan pemilu hingga perpanjangan masa jabatan presiden adalah kalangan elite, baik pejabat maupun sejumlah elite parpol koalisi. “Kami cermati, ada orkestrasi secara terukur, hasil pemufakatan jahat segelintir elite, yang ingin melanggengkan kekuasaan,” kata Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra dalam keterangannya, Minggu. Dia mempertanyakan klaim wacana penundaan pemilu yang disuarakan para elite adalah atas kehendak rakyat. Klaim itu semisal menggunakan narasi pengusaha meminta pemilu ditunda karena khawatir mengganggu stabilitas ekonomi nasional.
Selain itu, Herzaky juga mempertanyakan adanya klaim bahwa pemilu ditunda merupakan usulan dari seorang petani. “Lalu mendadak satu orang petani mengusulkan ini dan diekspos di publik. Padahal, rakyat negeri ini 267 juta jiwa,” ucap Herzaky.
Sumber : Kompas.com