Oleh: Damai Hari Lubis – Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Sahabat penulis, Edy Mulyadi, seorang aktivis dan jurnalis senior, merasa gusar, kesal, dan marah. Hal ini disebabkan oleh tindakan rezim Jokowi, melalui aparat penegak hukumnya—mulai dari penyidik, penuntut umum, hingga majelis hakim—yang seolah berlomba “berlidah panjang” dalam mendukung kepentingan penguasa. Mereka tampak kompetitif dalam “mengangkat telur” demi menjerat dan memenjarakan Edy dengan sewenang-wenang, tanpa mengindahkan asas presumption of innocence sebagaimana diatur dalam KUHAP. Padahal, sebagai warga negara, Edy memiliki hak individu untuk mengkritik pemerintah dan pejabat publik, yang merupakan bagian dari hak kebebasan berpendapat yang dijamin dalam sistem hukum dan perundang-undangan. Namun, aparat hukum malah menggunakan pasal-pasal yang tidak relevan untuk menjerat, menuntut, hingga memvonis Edy dengan hukuman penjara.
Kenyataannya, kritik Edy terhadap pemindahan Ibu Kota Negara (IKN), yang disampaikan dalam bentuk satire—menggambarkan lokasi tersebut sebagai “tempat jin buang anak”—berujung pada pemenjaraannya selama 7 bulan 15 hari, dengan ancaman tuntutan 4 tahun penjara. Ironisnya, pernyataan bernada serupa justru kemudian diucapkan oleh Jokowi sendiri yang menyebut “IKN jangan sampai menjadi kota hantu.” Namun, aparat penegak hukum tidak mengambil tindakan apapun terhadap pernyataan Jokowi. Hal ini mencerminkan ketimpangan dalam penerapan hukum, yang penuh dengan keberpihakan dan diskriminasi.
Lebih jauh, informasi terbaru menyebutkan bahwa proyek pembangunan IKN telah dihentikan oleh pemerintahan Prabowo di bawah Kabinet Merah Putih (KMP), tanpa batas waktu yang ditentukan. Dengan demikian, proyek ambisius Jokowi yang menghabiskan belasan triliun rupiah itu berakhir sia-sia. Kini, ada kemungkinan bahwa proyek ini hanya akan menyisakan bangunan mangkrak dan benar-benar menjadi “kota hantu,” sebagaimana yang sebelumnya disindir oleh Edy Mulyadi.
Dalam konteks ini, wajar jika Edy Mulyadi melontarkan sumpah serapah terhadap pola kepemimpinan Jokowi. Pasalnya, Jokowi kerap disebut sebagai “Raja Bohong” dan bahkan diduga memiliki ijazah palsu dari UGM. Meskipun berbagai dugaan pelanggaran hukum diarahkan kepadanya, ia tetap kebal dari tuntutan hukum. Mulai dari praktik nepotisme, kriminalisasi lawan politik, hingga berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan, semua itu dibiarkan begitu saja tanpa proses hukum yang tegas.
Secara hukum, sudah seharusnya pola kepemimpinan Jokowi menjadi perhatian serius agar memberikan efek jera bagi para pemimpin di masa depan. Banyak pihak yang menilai bahwa tindakan Jokowi, termasuk penerbitan Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di atas wilayah laut serta kebijakan Hak Guna Usaha (HGU) selama 190 tahun bagi WNA, patut diperiksa secara hukum. Setidaknya, kebijakan tersebut membutuhkan kejelasan pertanggungjawaban hukum.
Sebagai penutup, publik berharap agar di era pemerintahan KMP, Jokowi segera diproses secara hukum. Ada pula suara-suara yang menginginkan agar proses hukum terhadap Jokowi dijadikan sebagai proyek percontohan dalam penegakan hukum nasional. Hal ini bukan sekadar pembalasan, melainkan demi kepastian hukum, efek jera, dan keadilan yang harus ditegakkan agar pemimpin-pemimpin selanjutnya tidak mengulangi kesalahan yang sama.