Yogi menjelaskan ada sekitar 200 kepala keluarga mendiami tanah seluas 11.300 meter persegi yang diklaim tersebut. Di dalamnya, dia juga mengakui, ada sekitar 400 rumah tidak memiliki surat tanah atau Sertifikat Hak Milik (SHM). “Tanah di sini ga ada surat, tidak dijual-belikan tapi istilahnya ganti uang garap atau urukan,” kata Yogi sambil menambahkan, “Kami bukan ga mau membeli tapi tidak diberikan akses itu.”
Jakarta – Fusilatnews – Upaya pengusiran Warga Kapuk Muara, RT 01/03, Penjaringan, Jakarta Utara korban kebakaran besar pada akhir Juli lalu, oleh ratusan gerombolan preman bersenjata tajam dan pentungan pada hari Ahad 3 September kemarin masih menghantui dan mengintimasi warga Kapuk Muara
Pada hari itu ratusan gerombolan preman itu tiga kali menyerang perkampungan warga sambil teriak memerintahkan warga pergi dari perkampungan yang sudah ditinggali selama puluhan tahun. Mereka Bolak-balik datang, bentrokan tak terhindarkan pada sore harinya hingga menyebabkan empat warga terluka
“Mereka seperti gerombolan preman berjumlah 800 – 1000 orang meminta kami mengosongkan tanah yang sudah kami tinggali puluhan tahun,” kata Yogi, 63 tahun, tokoh masyarakat di Kapuk Muara. Dia mengisahkan kembali pengepungan dan penyerangan itu saat ditemui, Selasa (5/9)
Yogi merinci kronologi kedatangan massa tak dikenal itu sebanyak tiga kali: pagi sekitar pukul 5, lalu siang pukul 14, dan datang lagi sore menjelang magrib pukul 17. Dari bentrokan yang kemudian terjadi, Yogi menuturkan, satu warga hingga hari itu masih dirawat di Rumah Sakit Atmajaya dalam kondisi kritis karena luka-luka yang dialaminya
Menurut Yogi, peristiwa Ahad lalu terangkai dengan intimidasi dari orang yang mengklaim memiliki tanah yang ditempati warga. “Mereka menggunakan massa bayaran dengan cara kekerasan untuk mengusir kami,” katanya lagi.
Bekas Tanah Rawa
Yogi menjelaskan ada sekitar 200 kepala keluarga mendiami tanah seluas 11.300 meter persegi yang diklaim tersebut. Di dalamnya, dia juga mengakui, ada sekitar 400 rumah tidak memiliki surat tanah atau Sertifikat Hak Milik (SHM). “Tanah di sini ga ada surat, tidak dijual-belikan tapi istilahnya ganti uang garap atau urukan,” kata Yogi sambil menambahkan, “Kami bukan ga mau membeli tapi tidak diberikan akses itu.”
Meski dianggap pelaku penyerobotan tanah, warga setempat terdata sebagai penduduk sah dengan pendataan kependudukan yang lengkap. Itu sebabnya, Yogi mengungkap harapannya pejabat RT, RW, dan Lurah, tidak lepas tangan atas masalah yang dihadapi warga saat ini.
“RT, RW dan Lurah beberapa kali memediasi warga menekankan untuk pindah dan angkat kaki dari lokasi yang dianggap sengketa, padahal kami punya KTP warga yang sah,” ujarnya.
Luas tanah yang dianggap bersengketa sekitar 11.300 meter persegi, menurut Yogi, sebelumnya adalah tanah rawa. Kedalamannya 4-6 meter. Warga datang dan mengurug sejak 30–40 tahun lalu. Tuduhan penyerobotan diingat Yogi datang pertama kali pada 2017. Saat itu informasi yang diterima warga adalah tanah sudah dijual-belikan. Tapi, Yogi mengaku belum pernah ditunjukkan surat-suratnya dari Badan Pertanahan Nasional.
Warga Marjinal
Warga lainnya, Azis (40), mengungkap dugaan pembiaran dan marjinalisasi yang diterima warga setempat. Termasuk ketika terjadi pengepungan dan penyerangan oleh massa tak dikenal pada Ahad lalu. Pelaporan yang telah dibuat sejak pagi tak membuat tak banyak anggota polisi datang ke lokasi hingga akhirnya terjadi bentrokan dan jatuh korban.
Sebagaimana dilansir oleh Tempo yang mendatangi kantor kelurahan untuk mencari konfirmasi atas apa yang menjadi keluhan dan harapan warga korban kebakaran itu. Sayang, Janson Simanjuntak, nama Lurah Kapuk Muara, enggan menerima meski sudah ditunggui selama tiga jam.
“Warga dan masyarakat di sini sudah dianggap masyarakat terbuang, atau terisolasi,” kata Azis yang ditambahkan Yogi, “Kami berharap Penjabat Gubernur Jakarta mendengar keluahan warganya.”
terrpisah, Kapolres Jakarta Utara Komisaris Besar Gidion Arif Setyawan mengatakan mengerahkan 130 personel berjaga di lokasi bekas kebakaran Kapuk Muara, Penjaringan, pascabentrokan. Dia membenarkan bentrokan diduga berawal dari sengketa tanah.
“Kami juga sudah melaksanakan penyidikan terhadap suatu kasus yang dilaporkan oleh tiga orang terkait delik pertanahan yang terdapat dalam pasal 167 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pelanggaran memaksa masuk ke properti milik orang lain,” katanya.