Jakarta, Fusilafnews – Yudian Wahyudi, Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), adalah sosok yang tak asing lagi di kalangan masyarakat Indonesia. Namanya sering muncul di pemberitaan karena berbagai kebijakan kontroversial yang ia keluarkan, terutama yang terkait dengan isu-isu agama, khususnya Islam. Sebagai pimpinan lembaga yang bertugas mengawal dan menguatkan ideologi Pancasila, Yudian kerap memicu perdebatan publik yang luas.
Salah satu kebijakan yang paling menghebohkan adalah ketika BPIP tidak memfasilitasi penggunaan jilbab bagi anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) Nasional. Keputusan ini menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, termasuk dari organisasi keagamaan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Nahdlatul Ulama (NU). Kebijakan ini dianggap sebagai langkah yang tidak sensitif terhadap keberagaman dan kebebasan beragama yang dijamin oleh Pancasila itu sendiri.
Polemik ini semakin mencuat setelah Paskibraka Nasional, yang sebelumnya berada di bawah naungan Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), berpindah ke BPIP pada tahun 2022. Perubahan ini didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2022 tentang Program Pasukan Pengibar Bendera Pusaka. Namun, dengan perubahan tersebut, muncul pula berbagai masalah baru, termasuk isu larangan jilbab yang menimbulkan ketegangan di tengah masyarakat.
Yudian Wahyudi sendiri telah dikenal sebagai sosok yang kontroversial sejak awal menjabat sebagai Kepala BPIP. Ia pernah mengeluarkan pernyataan yang menyebut bahwa Islam adalah “musuh besar” Pancasila dan bahwa Pancasila harus dilindungi dari pengaruh Islam secara administratif. Pernyataan ini jelas memicu reaksi keras, terutama dari umat Muslim yang merasa terpinggirkan dan disudutkan oleh pernyataan tersebut.
Kritikan terhadap Yudian bukan hanya datang dari kalangan umat Islam, tetapi juga dari berbagai pihak yang melihat bahwa tindakan dan kebijakan yang ia keluarkan seringkali memicu ketegangan dan perpecahan, bukannya memperkuat persatuan bangsa. Hal ini menjadi ironi tersendiri, mengingat BPIP seharusnya berperan dalam menjaga dan mempromosikan Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa.
Dari berbagai kontroversi yang muncul, tampak bahwa kepemimpinan Yudian Wahyudi di BPIP lebih sering menciptakan kegaduhan dibandingkan solusi. Dalam konteks Indonesia yang beragam, baik dari segi agama, budaya, maupun etnis, diperlukan sosok pemimpin yang mampu mengayomi dan merangkul semua golongan. Namun, hingga kini, kebijakan dan pernyataan Yudian sering kali dinilai justru memperkeruh suasana dan memperlebar jarak antara pemerintah dengan masyarakat, khususnya umat Islam.
Dengan berbagai kritik yang terus mengalir, pertanyaan besar yang muncul adalah apakah Yudian Wahyudi masih layak memimpin BPIP, lembaga yang seharusnya menjadi penjaga nilai-nilai Pancasila di tengah dinamika bangsa yang semakin kompleks. Sejauh ini, Yudian masih terus menjalankan tugasnya di BPIP, meskipun bayang-bayang kontroversi terus mengikuti setiap langkah dan kebijakan yang ia ambil.