Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Analis Politik Konsultan dan Survei Indonesia (KSI)
Jakarta – Penggerebekan yang dilakukan aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) terhadap pengedar narkoba di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) memunculkan tanda tanya: adakah “api dalam sekam” di antara TNI dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri)?
Pun, adakah indikasi ketidakpercayaan instansi TNI kepada instansi Polri, sehingga TNI “main hakim” sendiri?
Apakah indikasi ketidakpercayaan terhadap instansi Polri juga ditunjukkan Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam kerja samanya dengan TNI dalam penguatan pengamanan kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) di seluruh Indonesia?
Diberitakan, TNI melakukan penggerebekan pengedar narkoba di Bima, NTB. Kodim 1608/Bima melalui Koramil 1608-04/Woha bersama Unit Intel menggagalkan peredaran narkoba di kawasan tambak Desa Penapali, Kecamatan Woha, Kabupaten Bima, Kamis (1/5/2025).
Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Mayor Jenderal Yusri Nuryanto menyatakan, aparat TNI dapat menangkap pelaku tindak pidana seperti saat anggota TNI menggerebek pengedar narkoba di Bima, NTB.
Yusri menyebut tidak mungkin TNI diam saja ketika menemukan tindak pidana di depan mata.
Akan tetapi, katanya, proses hukum terhadap masyarakat sipil yang terlibat tindak pidana itu tetap diserahkan ke aparat penegak hukum, dalam hal ini Polri.
Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Marthinus Hukom mengajak semua pihak untuk memahami tugas dan fungsi masing-masing instansi.
Apakah pernyataan Hukom itu mengindikasikan adanya “api dalam sekam” terkait hubungan TNI dengan Polri?
Maklum, selama ini kerap terjadi gesekan bahkan bentrokan di lapangan antara oknum-oknum prajurit TNI dan oknum-oknum anggota Polri. Semacam terjadi persaingan di antara mereka, meskipun tugas pokok dan fungsi (tupoksi) masing-masing berbeda. TNI di bidang pertahanan dan keamanan, Polri di bidang keamanan dan ketertiban masyarakat serta penegakan hukum.
Sementara itu, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto mengeluarkan perintah penguatan pengamanan terhadap Kejati dan Kejari di seluruh Indonesia. Instruksi itu tertuang dalam Telegram Panglima TNI No TR/442/2025 tertanggal 5 Mei 2025.
Dalam Telegram tersebut, Panglima TNI memerintahkan pengerahan personel dan alat perlengkapan dalam rangka dukungan pengamanan terhadap Kejati dan Kejari di seluruh Indonesia.
Kapuspen TNI Mayjen TNI Kristomei Sianturi menyatakan surat telegram tersebut merupakan bagian kerja sama pengamanan. Semua tertuang dalam Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) antara Kejagung dan TNI No NK/6/IV/2023/TNI tanggal 6 April 2023.
Hal tersebut diamini Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar.
Apakah Kejagung tak percaya lagi kepada Polri? Apakah mungkin karena kantornya di kawasan Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pernah dikepung oknum-oknum anggota Korps Brigadir Mobile (Brimob) Polri pada 20 Mei 2024?
Sehari sebelumnya, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Febrie Adriansyah dikuntit oleh dua oknum anggota Brimob yang kemudian ditangkap dan diserahkan kepada Mabes Polri.
Namun, pengepungan kantor Kejagung itu dibantah Komandan Korps Brimob Komjen Imam Widodo yang menyebutnya sekadar “framing”.
Pertanyaannya, kalau Kejagung yang merupakan instansi pemerintah saja tidak percaya lagi kepada Polri yang juga instansi pemerintah, bagaimana rakyat mau percaya kepada Polri?
Pertanyaan berikutnya, kalau TNI yang merupakan instansi pemerintah saja sudah tidak percaya lagi kepada Polri yang juga instansi pemerintah, bagaimana rakyat mau percaya kepada Polri?
Berdasarkan penelitian Civil Society for Police Watch, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Polri berada di angka 48,1% alias masih relatif rendah.
Kinerja Polri sepanjang 2024 juga didominasi sentimen negatif di media sosial. Dari 7.128.944 interaksi yang tercatat, sebanyak 46% atau 3.311.485 interaksi bernada negatif.
Data ini diungkapkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam acara rilis akhir tahun di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (31/12/2024).
TNI Offside
Akan tetapi, langkah TNI menggerebek pengedar narkoba dan melakukan penguatan pengamanan terhadap kantor Kejati dan Kejari di seluruh Indonesia dinilai offside. TNI patut diduga melanggar Undang-Undang (UU) TNI, yakni UU No 34 Tahun 2004 yang diperbarui dengan UU No 3 Tahun 2025.
TNI juga patut diduga melanggar KUHAP dan UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang tidak memberikan kewenangan apa pun kepada TNI untuk melakukan penegakan hukum dalam pemberantasan narkoba yang merupakan kewenangan kepolisian, Badan Narkotika Nasional (BNN), dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).melalui koordinasi dengan kepolisian dan BNN
Terkait pengamanan kantor Kejati dan Kejari, TNI juga patut diduga melanggar UU No 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
TNI juga patut diduga melanggar UU No 2 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, dan UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Alhasil, benarkah ada “api dalam sekam” di antara TNI dan Polri?
Benarkah di antara instansi pemerintah seperti Kejagung, TNI dan Polri sudah tidak ada rasa saling percaya?
Jika demikian, rakyat mau percaya kepada siapa?