
Oleh M Yamin Nasution, S.H-Pemerhati Hukum
Bayangkan suatu pagi, Anda membuka koran dan menemukan berita: “Pemerintah melepas saham mayoritas dalam proyek infrastruktur vital kepada investor swasta luar negeri.” Tidak ada rapat dengar pendapat. Tidak ada suara publik. Hanya satu tandatangan menteri. Sah.
Inilah yang sedang dan akan terjadi jika kita menutup mata terhadap Pasal 157 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perpu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Pasal ini—bersama Pasal 155 dan 154 yang menyertainya—bukan sekadar regulasi teknis. Ia adalah pintu terbuka untuk melepas kendali negara atas aset publik ke tangan entitas campuran, yang sebagian bahkan bisa dimiliki investor swasta asing.
Pasal 157 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), Ayat (4) dan Ayat (6) secara garis besar menerangkan bahwa :
“Aset Negara dan Aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dapat dipindahkan tangankan ke Perusahaan swasta dengan cara jual beli”
Secara garis pengaturan ini terlihat baik-baik saja, dan telah banyak dilakukan oleh Negara dan BUMN. Akan tetapi, dipenghujung perintah Pasal 155 Ayat (1) menegaskan :
Dalam melaksanakan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 Ayat (3) huruf a, menteri yang menyelanggarakan urusan pemerintah dibidang keuangan Negara dapat menetapkan dan/atau menunjuk badan layanan umum, badan bumn, dan/atau badan hukum lainnya
Perhatikan kalimat akhir aturan yang dimaksud. Dua Pasal ini menegaskan aset negara dan aset bumn dijual belikan kepada perusahaan badan hukum yang secara bebas dipilih oleh menteri.
Menteri sebagai Makelar Tunggal
UU ini memberikan kekuasaan luas kepada menteri untuk memindahtangankan aset negara dan BUMN ke dalam perusahaan patungan (joint venture), baik melalui inbreng, jual beli, atau “cara lain”. Tidak ada keharusan untuk melakukan lelang terbuka. Tidak perlu persetujuan DPR. Cukup dengan penunjukan sepihak dan kontrak yang ditandatangani, sebuah tambang, pelabuhan, atau jaringan distribusi bisa berpindah ke perusahaan yang dimiliki bersama investor luar.
Kita sedang menyaksikan transformasi fungsi negara dari pengelola amanah publik menjadi aktor korporat. Ketika negara berperan seperti korporasi, akuntabilitasnya hilang, tapi kekuasaannya tetap absolut.
Privatisasi Tanpa Nama
Pendukung skema ini menyebutnya “optimalisasi aset.” Tetapi mari kita sebut dengan jujur: ini adalah privatisasi tanpa nama. Tidak transparan, tidak melibatkan publik, dan berpotensi menguntungkan segelintir kelompok yang dekat dengan kekuasaan.
Dalam Putusan MK No. 001/PUU-I/2003 tentang kelistrikan, Mahkamah Konstitusi sudah menegaskan bahwa cabang produksi penting harus dikuasai negara—bukan sekadar dimiliki dalam artian saham, melainkan dalam arti penuh: penguasaan, pengelolaan, dan pengawasan. Bagaimana negara bisa mengklaim kontrol, jika dalam joint venture posisinya minoritas?
Korupsi yang Disahkan Hukum
Yang lebih berbahaya lagi adalah Pasal 157 ayat (6), yang menyatakan bahwa “aset yang sudah dipindahtangankan tidak dapat disita secara pidana atau perdata, kecuali atas persetujuan pemilik hak”. Ini bukan sekadar norma administratif. Ini adalah tameng hukum. Aset yang dipindahtangankan, sekalipun diperoleh melalui manipulasi nilai atau kolusi, bisa kebal dari penyitaan hukum.
Bayangkan jika harta negara berpindah tangan melalui penilaian fiktif, dengan mitra yang ditunjuk karena hubungan politik. Tidak bisa disita. Tidak bisa diaudit. Negara menyetujui, maka transaksi itu sah. Dan publik? Hanya bisa melihat dari luar pagar.
Dari sini, dapat fahami mengapa rezim Jokowi memberikan karpet merah pada investor. Luhut : akan membul doser, meminta pindah warga Negara yang menentang investasi. Dan mengapa harta kekayaan dan aset perusahaan beberap menteri dan keluarga presiden meningkat tinggi.
Konstitusi yang Dilangkahi
Pasal 33 UUD 1945 telah dengan terang menggariskan bahwa bumi, air, dan cabang produksi penting harus dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. UU Cipta Kerja melangkahi prinsip itu, dan mengatur skema legal untuk mengalihkan kepemilikan aset negara menjadi milik bersama, termasuk oleh pihak asing dan investor portofolio.
Apakah ini reformasi? Atau dekonstruksi diam-diam terhadap kedaulatan ekonomi?
Negara bukan milik pemerintah. Negara adalah milik rakyat. Dan rakyat berhak tahu dan menentukan ke mana asetnya berpindah. Atas nama siapa saja aset tersebut telah dipindah, bagaimana pengelolaan lembaga atas investasi selama ini yang diatur dalam Pasal 154 Ayat (3) huruf b. Apakah Aset Negara dan Aset BUMN telah dipindahkan atas nama Jokowi dan keluarga peribadi, apakah meningkatnya harta Luhut, Erik Tohir, Bahlil dan lainya bagian dari jual beli aset Negara yang dimaksud aturan ini?
Sebagai warga negara, akademisi hukum atau hanya pembayar pajak biasa, kita tidak bisa diam. Judicial review ke Mahkamah Konstitusi adalah keniscayaan. Membatalkan Pasal 157 adalah keharusan. Tapi sebelum itu, suara publik harus membesar: diskusi, liputan investigasi, dan desakan kepada parlemen untuk membuka kembali ruang kontrol terhadap aset negara.