Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI).
Jakarta, Fusilatnews – “Komandante Stelsel”, sistem yang diklaim bersumber dari ajaran gotong-royong Bung Karno, ternyata telah menelan banyak korban. Banyak calon anggota legislatif (caleg) terpilih di Pemilu 2024 di Jawa Tengah ter-“pacul” (cangkul) dan gagal dilantik gegara penerapan sistem “nyeleneh” tersebut.
Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDI Perjuangan Jateng, yang diketuai Bambang “Pacul” Wuryanto adalah satu-satunya DPD PDIP di Indonesia yang menerapkan sistem Komandante (Komandan Tempur) Stelsel.
Penerapan sistem tersebut tertuang dalam Peraturan DPD PDIP Jateng No 01 Tahun 2023. Dalam sistem ini, seperti dilansir sebuah sumber, perolehan suara caleg yang dihitung bukanlah suara “by name” (sesuai nama), melainkan akumulasi perolehan suara partai di wilayah binaan alias desa masing-masing. Wilayah binaan ini disebut juga sebagai wilayah tempur. Satu daerah pemilihan dibagi atas beberapa wilayah tempur.
Adapun akumulasi ini di antaranya didapatkan berdasarkan “by name” caleg dan suara coblos partai.
Meskipun seorang caleg perolehan suaranya menang di dapil secara keseluruhan, namun jika kalah di wilayah tempurnya maka ia tidak akan dilantik.
Pembagian wilayah tempur ini dimaksudkan supaya tidak terjadi persaingan antar-caleg PDIP di dapil yang sama, karena mereka bertempur di wilayah tempur masing-masing. Adapun kewenangan untuk menentukan siapa caleg yang akan dilantik adalah partai.
Sistem Komandante Stelsel diklaim tidak bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 426 ayat (1) UU Pemilu menyebut, penggantian caleg terpilih anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dapat dilakukan jika terpenuhi kondisi: meninggal dunia, mengundurkan diri, tidak lagi memenuhi syarat menjadi anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, atau DPRD Kabupaten/Kota, atau terbukti melakukan tindak pidana pemilu berupa politik uang atau pemalsuan dokumen berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dalam Pasal 426 ayat (3) UU Pemilu tertulis, “Calon terpilih anggota DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diganti oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dengan calon dari Daftar Calon Tetap (DCT) partai politik peserta pemilu yang sama di daerah pemilihan tersebut berdasarkan perolehan suara calon terbanyak berikutnya.”
Pun, caleg dari PDIP adalah warga negara Indonesia (WNI) yang dianggap paham dan patuh terhadap Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PDIP, regulasi internal, dan regulasi dalam bentuk lain. Apabila caleg tidak memenuhi aturan internal, maka ia wajib mengundurkan diri.
Demikianlah. Akibatnya, banyak caleg terpilih dari PDIP di Jateng yang terpaksa harus mengundurkan diri karena perolehan suara di wilayah tempurnya lebih rendah daripada perolehan suara di dapil secara keseluruhan di Pemilu 2024.
Mengapa terpaksa? Secara logika, seseorang yang sudah berjuang keras bahkan sampai berdarah-darah, tak mungkin dengan begitu saja mau melepaskan kursi legislatif yang telah diraihnya. Hanya manusia abnormal yang mau melakukan hal itu. Kecuali kalau memang tertekan oleh partainya.
Banyak caleg yang ter-“pacul” mengaku tak pernah menandatangani surat pengunduran diri mereka. Yang mengajukan surat pengunduran diri ke KPU, KPUD Provinsi atau KPUD Kabupaten/Kota adalah partai.
Sistem Komandante Stelsel diklaim telah disosialisasikan sejak 2022, dan caleg yang keberatan boleh menolak sebelum masuk DCT Pemilu 2024. Namun, tak seorang pun caleg di Daftar Calon Sementara (DCS) yang menolak dan mengundurkan diri.
Kini, ketika sudah terpilih, mereka banyak yang tidak ikhlas dengan sistem yang mereka nilai tidak adil itu. Sekali lagi, mereka mengaku tidak pernah menulis surat pengunduran diri.
Adapun mereka yang ter-“pacul” di antaranya 6 caleg terpilih DPRD Provinsi Jateng, 5 caleg terpilih DPRD Kabupaten Wonogiri, 3 caleg terpilih DPRD Kota Salatiga, 2 caleg terpilih DPRD Kabupaten Grobogan, dan lain sebagainya.
Mereka yang berasal dari 22 dari 35 kabupaten/kota di Jateng itu kemudian mengajukan gugatan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Akankah berhasil?
Entahlah. Entah apa pula yang berkecamuk dalam benak Bambang Pacul sehingga DPD PDIP Jateng menginisiasi penerapan sistem Komandante Stelsel yang jauh dari rasa keadilan itu.
Ketika konstituen sudah memilih nama seorang caleg, bagaimana bisa digantikan oleh nama caleg lainnya? Kalau tanpa nama caleg tersebut, belum tentu konstituen mau memilih PDIP. Di mana nilai demokrasinya?
PDIP memang menjadi jawara di Jateng dalam Pemilu 2024 dengan mengoleksi 33 dari 120 kursi DPRD Provinsi. Tapi sebenarnya partai berlambang kepala banteng dalam lingkaran itu relatif “kalah”. Sebab, di Pemilu 2019 lalu PDIP berhasil meraih 42 kursi di Jateng, namun di Pemilu 2024 ini merosot menjadi “hanya” 33 kursi. Ada 9 kursi yang melayang di sana.
Apalagi di Pilpres 2024, calon presiden-wakil presiden yang diusung PDIP, Ganjar Pranowo-Mahfud Md kalah telak di Jateng. Di provinsi yang merupakan kandang banteng dan Ganjar dua periode menjadi gubernurnya, dan berpasangan dengan Mahfud Md yang cukup populer di kancah nasional, justru hanya mampu meraup 32,49% suara, kalah telak dari Prabowo-Gibran yang berhasil menguasai 53,03% suara.
Terkait kekalahan Ganjar-Mahfud di Jateng, Bambang Pacul mengaku merasa malu. Akan tetapi, hanya sebatas malu. Dia tidak mundur dari jabatannya sebagai Ketua DPD PDIP Jateng, Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) DPP PDIP, dan anggota DPR RI.
Padahal dalam tradisi Samurai Jepang, rasa malu atau harga diri adalah di atas segala-galanya. Bahkan karena rasa malu atau kehilangan harga diri itulah maka seorang Samurai rela melakukan “harakiri” atau bunuh diri. Dalam konteks Bambang Pacul, mestinya dia mundur dari ketiga jabatan yang disandangnya itu.
Beberapa waktu lalu, Pacul juga sesumbar akan mundur jika Ganjar Pranowo mendapat rekomendasi dari DPP PDIP sebagai capres di Pilpres 2024. Faktanya, ketika Ganjar mendapat rekomendasi bahkan hingga Ganjar kalah sekalipun, ternyata Bambang Pacul tak kunjung mundur juga. Apalagi, gegara sistem Komandante Stelsel yang ia inisiasi, banyak caleg terpilih di Jateng ter-“pacul” dan tak akan dilantik.
Alhasil, jika Bung Karno masih hidup, niscaya Proklamator RI itu akan menangis sejadi-jadinya melihat ketidakadilan yang ditimbulkan oleh sistem Komandante Stelsel yang diklaim bersumber dari ajaran gotong-royong Presiden I RI tersebut. Demikianlah!