OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Tidak lama lagi, para petani padi bakal menyambut datangnya panen raya. Hajatan petani atas jerih payah dan kerja keras mereka selama kurang lebih 3 bulan ini, senantiasa ditunggu dengan penuh harapan. Petani umum nya berkeyakinan panen raya merupakan momen penting untuk melanjutkan kehidupan keluarganya ke arah yang lebih baik lagi.
Menghadapi panen raya musim tanam Oktober-Maret 2025, banyak petani yang was-was, karena dikhawatirkan panen akan berbarengan dengan musim penghujan. Tak terbayang, bagaimana para petani menghadapinya. Panen di musim hujan, jelas akan merugikan petani, karena petani cenderung akan menghasilkan gabah basah dengan kadar air sekitar 30 -40 %. Dengan kadar air sebesar itu, otomatis harga gabah akan jatuh.
Ini yang tidak diinginkan oleh para petani di lapangan. Petani tidak ingin kerja keras dan jerih payah hasil bercocok-tanamyya, tidak dihargai dengan harga yang wajar. Pertanyaan kritisnya, berapa harga gabah yanĝ wajar iru ? Apakah Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah perlu direvisi atau disempurnakan sesuau dengan perkembangan ekononi yang kini telah berlangsung ? Jawabannya tegas : ya harus !.
HPP Gabah yang selama ini dipatok Rp.6000,- berdasar Peraturan Badan Pangan Nasional No. 4 Tahun 2024, dan mulai 15 Januari 2025 dinaikan jadi Tp. 6500 – per kg, penting untuk ditinjau ulang. Harga sebesar itu, bukanlah yang diinginkan para petani. Kalau petani merasa senang dengan harga diatas Rp.7000,- per kg, apa salahnya HPP Gabah dinaikan menjadi Rp.7000,- per kg. Bukankah Pemerintah juga telah menaikkan Harga Eceran Tertinggi beras sebesar Rp.1000,- ?
Belum juga panen raya berlangsung, di banyak daerah mulai terdengar berita, harga gabah mulai menurun dengan angka yang cukup signifikan. Tidak lagi harga gabah mampu menembus harga Rp.7000,- per kg. Anjloknya harga gabah ini, boleh jadi disebabkan oleh gencarnya Pemerintah yang jor-joran ingin menurunkan harga beras. Pemerintah sendiri telah menyatakan rasa optimisnya, di saat panen raya, harga beras bakal melorot.
Patut dipertanyakan, mengapa Pemerintah seperti tidak mampu melahirkan regulasi yang memuaskan petani dan masyarakat secara bersamaan ? Ayo kita turunkan harga beras, supaya masyarakat tidak mengeluh lagi dengan kenaikan harga beras yang ugal-ugalan. Namun, jangan juga terjadi turunnya harga beras, membuat harga gabah di petani, ikut-ikutan anjlok.
Secara kemauan politik, Pemerintah telah berikral, keinginan menurunkan harga beras, sepatutnya tidak menurunkan harga gabah, yang ujung-ujungnya membuat para petani kecewa. Sayang, dalam kenyataan di lapangan, kemauan politik tersebut, belum bisa diwujudkan. Ini yang dikeluhkan petani. Bagi petani, Pemerintah dengan seabreg kekuasaan dan kewenangan yang digenggamnya, mestinya mampu juga menyenangkan para petani.
Kita sendiri tidak tahu dengan pasti, mengapa Pemerintah tidak dengan cepat merevisi aturan terkait HPP Gabah dan Beras ? Atau setidaknya menjelaskan kepada petani terkait hitung-hitungan harga gabah dan beras dalam kondisu kekinian. Apakah biaya produksi dan resiko usaha masih sesuai dengan waktu penetapan Peraturan Badan Pangan Nasional No. 4 Tahun 2024 lalu ? Atau kini sudah jauh berbeda suasananya ?
Masalahnya menjadi semakin memilukan, manakala dikaitkan dengan fenomena iklim ekstrim yang sekarang menyergao warga dunia. Kita belum tahu dengan pasti, apakah paska El Nino kita akan langsung disergap oleh La Nina ? Sekalipun sinyal La Nina sudah mulai berkelap kelip, kita berharap agar pada saat panen raya, kondisi iklim masih kondusif bagi pelaksanaan panen. Tak terbayang, jika panen raya berlangsung disaat musim penghujan.
Kalau hal itu mesti kita alami, sindrom gabah basah, lagi-lagi akan dihadapi petani. Dengan keterbatasan alat dan teknologi pengering yang dikuasai petani, sangat sulit mereka akan menghasilkan gabah kering dengan kadar air sebesar 14 %. Padahal, gabah basah memiliki kadar air diatas 30 %. Menurunkan kadar air dari 30 % menjadi 14 %, bukanlah pekerjaan gampang untuk ditempuh.
Di mata petani, gabah basah benar-benar menjadi masalah. Bila gabah kering giling (GKG) tidak mampu mencapai kadar air 14 %, pasti harga jual nya tidak akan sesuai dengan standar harga yang telah ditetapkan dalam aturan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Harga gabah akan semakin turun seirama dengan semakin tinggi nya kadar air.
Dihadapkan pada kondisi yang demikian, sebetul nya negara harus hadir di tengah-tengah kehidupan petani. Pemerintah tidak boleh berdiam diri. Pemerintah segera harus turun tangan. Para pengambil kebijakan yang memiliki kewenangan untuk menangani paska panen, sudah sepatut nya berpikir keras dan mencari terobosan cerdas guna melahirkan solusi terbaik nya.
Gabah basah adalah bentuk ketidak-mampuan petani dalam meningkatkan kualitas gabah hasil panenan nya untuk memperoleh harga jual yang sesuai dengan ketentuan HPP. Petani sendiri tidak ingin gabah nya basah. Petani juga benci bila gabah nya tidak mampu memenuhi kadar air 14 %. Petani tahu persis jika ingin memperoleh harga yang sesuai HPP, maka gabah nya harus kering.
Itu sebab nya sudah sejak lama petani meminta kepada Pemerintah, jika akan memberi bantuan, sebaik nya jangan traktor melulu, tapi sudah waktu nya pula diberikan peralatan paska panen seperti alat pengering. Aneh nya ternyata Pemerintah lebih senang memberi bantuan alsintan yang sifat nya untuk meningkatkan produksi, padahal yang dibutuhkan petani adalah alsintan untuk penanganan paska panen.
Selain harganya jatuh, gabah basah juga menciptakan jamur yang menempel dalam gabah teraebut. Kalau gabah basah dipaksa diolah menjadi beras, maka akab dihasilkan “beras batik”. Beras yang butirannya dihiasi serangan jamur, yang tampak seperti kain batik. Akibatnya, petani kembali merana dan meratapi kepiluan nya. Panen raya yang semula diharapkan mampu memberi berkah, kini berubah jadi tragedi kehidupan.
“Beras Batik”, bukan harapan para petani. Menyedihkan, memang !
(PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).