Fusilatnews – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa tampaknya lupa, jabatan publik bukanlah kursi akademik tempat angka-angka menjadi satu-satunya kebenaran. Ketika ia menyebut gerakan 17+8 Tuntutan Rakyat hanyalah suara “sebagian kecil” masyarakat, pernyataan itu terdengar bukan sekadar keliru, tetapi juga arogan. Seolah-olah penderitaan rakyat dapat dihitung seperti statistik kemiskinan yang cukup dipoles grafiknya lalu beres.
Purbaya bahkan percaya bahwa dengan pertumbuhan ekonomi 6 persen, rakyat otomatis berhenti berdemo karena sibuk makan enak. Pandangan ini jelas gegabah. Rakyat tidak turun ke jalan sekadar karena lapar, tetapi karena merasa ditelantarkan. Tuntutan transparansi, reformasi, dan empati yang diusung dalam gerakan itu bukan soal perut semata, melainkan jeritan moral terhadap kekuasaan yang abai.
Kontras dengan Presiden Prabowo yang ingin membangun citra pemimpin yang mendengar suara rakyat, ucapan Menkeu justru menutup telinga. Alih-alih membaca keresahan publik sebagai peringatan, ia malah mereduksinya menjadi riak kecil. Padahal sejarah negeri ini membuktikan: suara yang diremehkan justru bisa menjadi gelombang perubahan. Tahun 1998 menjadi saksi, bahwa mahasiswa dan rakyat yang dianggap “segelintir” mampu meruntuhkan rezim mapan.
Menganggap rakyat hanya akan diam bila diberi kesempatan bekerja dan makan enak adalah penghinaan terhadap kesadaran politik mereka. Demokrasi bukan barter: stabilitas ditukar dengan nasi. Demokrasi adalah ruang di mana rakyat berhak menuntut keadilan, sekalipun pertumbuhan ekonomi tercatat tinggi di laporan tahunan kementerian.
Seorang Menteri Keuangan bukan hanya pengatur kas negara, melainkan simbol kehadiran negara di tengah rakyat. Jika ia memilih menutup mata dan telinga, menganggap protes sebagai suara minor, maka ia sedang merusak legitimasi pemerintahannya sendiri. Cara pandang yang gegabah inilah yang bisa menjadi racun bagi kepemimpinan Prabowo.
Rakyat tidak butuh angka kosong, mereka butuh kebijakan yang berpihak. Dan yang paling fatal bagi seorang pejabat publik bukanlah ketika ia gagal menghitung inflasi, melainkan ketika ia gagal menghitung arti suara rakyat.























