Oleh : M Yamin – Pemerhati Hukum
HIRUK PIKUK Pilpres 2024 menjadi sangat dan terlalu penting bagi keberlangsungan masa depan Bangsa dan Negara Indonesia, mengingat 9 Tahun terakhir kekuasaan rezim hanya melahirkan kemiskinan ekstrim, penelantaran rakyat, perampokan tanah rakyat, ratusan korban nyawa seperti; 500 Anggota KPPS, Tragedi Kanjuhruan, kasus tewasnya anak di bawah umur Harun Al-Rasyid yang di duga tewas di aniaya oleh Anggota Kepolisian, KM 50, Penembakan Warga Negara di Kalteng, Tragedi Wadas, Tragedi Rempang, Tragedi Mutilasi, dan Pembunuhan di Papua yang masih menyisahkan pertanyaan besar bagi rakyat dan duka nestapa mendalam bagi keluarga korban. Penegakan hukum buruk, privatisasi, dan penegakan korupsi yang terlihat tebang pilih, serta demokrasi yang terus membusuk. Dan semua kejadian-kejadian tersebut lahir akibat ketidakpatuhan terhadap hukum.
Syarat keberhasilan utama dalam sebuah negara demokrasi adalah ketaatan terhadap hukum, “No Rule of Law, No Democracy,” terlebih tuntutan ketaatan para pemangku jabatan lembaga-lembaga negara pada Undang-Undang Konstitusi (UUD-NRI 1945). UUD negara adalah UU yang senyawa dengan Pembukaan UUD1945 dan Pancasila, UUD memiliki frasa terbuka (Open Legal Policy), Hans Kelsen menyebutnya sebagai Fiksi Hukum, di mana, cara penafsirannya harus menghilangkan sifat subjektik/kognitif penguasa. Hans Kelsen menyebutkan:
Fiksi hukum tidak tidak lain hanyalah sebuah penyimpangan yang tidak di perbolehkan dan sama sekali tidak berguna dan sama sekali merugikan yurisprudensi.
UUD 1945 di buat pertama kali dengan sangat bijaksana oleh para pejuang bangsa, di Amandemen menjadi UUD-NRI 1945 dengan bijaksana pula pasca reformasi yang mengorbankan nyawa para aktivis 1998, di mana hingga kini jasad sebagian korban belum di temukan.
Kebijaksanan dalam menafsiran akan melahirkan hukum murni (purity of law) dan sempurna tujuan hukum berdasarkan sosiologis (staatsoziologi) dalam keberlangsungan dan harmonisasi antar masyarakat, serta masyarakat dengan pemerintah.
PEMBANTAIN KONSTITUSI
Prof. Donald Lively, (1992) dalam buku “Foreshadows of the Law : Supreme Court Dissents and Constitutional Development”, mengatakan : Di beberapa negara di temukan suatu frasa hukum yang di anggap bertentangan dengan UU Konstitusi, maka kewajiban MK untuk mengujinya, sehingga tidak melahirkan segregasi dalam masyarakat.
Mark Elliot MA, Ph.D, (2001) “The Constitutional Foundations of Judicial Review” mengatakan: Pengawasan terhadap eksekutif biasanya di lakukan oleh Parlemen. Namun, meskipun tugas ini semakin kompleks siering dengan meningkatnya keterpaparan individu terhadap pertauran Pemerintah, Lembaga legislative semakin di dominasi oleh Partai Politik. Secara keseluruhan kedua faktor ini telah secara signifikan melemahkan kapasitas Parlemen untuk memberikan pengawasan yang memadai terhadap Pemerintahan. Pengadilanlah (Mahkamah Konstitusi) yang berupaya untuk mengisi deficit akuntabilitas ini dengan mewajibkan melalui Judicial Review, agar eksekutif menjalankan kekuasaannya secara adil, masuk akal dan konsisten dengan skema yang pertama-tama ditetapkan oleh Parlemen.
Berdasarkan perintah UUD – NRI 1945 bahwa fungsi DPR-RI adalah membentuk Undang-Undang, dan tidak ada hutang lebih besar dari legislative terhadap rakyat kecuali melahirkan produk hukum yang benar-benar bermanfaat bagi rakyat. Adapun Pasal 20 UUD-NRI 1945 berbunyi:
- Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
- Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
Putusan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang di mohonkan oleh Mahasiswa Universitas Surakarta yaitu Almas Tsaqibbirru dan membawa polemik dan masalah besar dalam hukum Tatanegara Indonesia. Bagaimana tidak, frasa yang di tambah oleh Mahkamah Konstitusi tentunya jelas bertentangan dengan Tupoksi Mahkamah Konstitusi yang di perintah oleh Pasal 24 C Ayat (1) UUD-NRI 1945.
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah suatu perbuatan yang merusak, memperkosa, menyodomi system hukum negara Indonesia. Hampir 600 orang Anggota DPR-RI yang melahirkan undang-undang, namun segelintir hakim-hakim yang pragmatis, bersekongkol dengan pemangku kekuasaan yang durjana, melakukan pemufakatan jahat, dan menghianati Pancasila sebagai ideologi hukum (recht ideology – baca tujuh indoktrinasi) negara. Putusan MK ini telah melanggar, meludahi, mengencingi, memperkosa, men sodomi, dan membantai system hukum (UUD -NRI 1945) negara, dan ini adalah bentuk penghianatan terhadap Pancasila yang di lakukan oleh Ketua MK Anwar Usman. Seperti yang di sebutkan pada bagian sebelumnya bahwa Pembukaan UUD 1945, Pancasila, dan UUD-NRI Adalah satu kesatuan. Ketua MK Anwar Usman telah gagal dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat Mahkamah Konstitusi.
Presiden Jokowi sebagai orang yang patut di duga keras bertanggung jawab adanya conflict of interest untuk memuluskan Putranya sebagai Cawapres wajib bersama-sama dengan DPP-RI, MPR-RI untuk memanggil, dan memecat Anwar Usman yang notabene Ipar tangan kedua (second hand of brother in law) Jokowi sebagai konsekwensi pembersihan nama baik Presiden, yang apabila tidak dilakukan hal ini akan berdampak buruk bagi Presiden, dan membuat presiden dapat di makzulkan sesuai Pasal 7A UUD-NRI 1945 yang berbunyi :
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
KESIMPULAN
- Perihal batasan usia Cawapres 40 Tahun atau kurang dari itu, bukanlah menjadi persoalan utama, Rakyat akan menyetujui dan menaati batasan tersebut bila di tentukan oleh Legislatif, sesuai dengan Tupoksi yang perintah dan di atur pada Pasal 20 UUD-NRI 1945, tidaklah lahir dari anak haram system hukum yang di perkosa oleh sekelompok kepentigan;
- Demokrasi menuntut ketaatan terhadap hukum;
- Bagaimana mungkin pasangan Capres dan Cawapres dapat memperbaiki persoalan korupsi, persoalan penegakan hukum, dan persoalan rasa keadilan yang selama ini menjadi masalah besar negri ini, bila langkah awal telah melanggar bahkan merusak system hukum tertinggi negara.
- Sebagai Politisi dan Partai Senior, Koalisi Prabowo seharusnya memahami tentang kerusakan dan seharusnya tidak menjadi bagian penikmat pemerkosaan dan sodomi system hukum tersebut.
- Ketidaktaatan pada hukum akan sangat merusak dan hanya akan melahirkan tirani, serta
- Akan menjadi contoh buruk bagi generasi bangsa, bila saat ini pemerkosaan hukum di lakukan dan di anggap bukan masalah fundamental dalam bernegara, maka niscaya generasi akan melakukan hal yang lebih buruk dari saat ini.























