Pemerintah Indonesia optimistis bahwa pertumbuhan ekonomi pada tahun 2025 akan mencapai 5%, sejalan dengan proyeksi Bank Dunia dan OECD yang memperkirakan angka antara 5,1% hingga 5,2%. Menteri Investasi dan Hilirisasi, Rosan Roeslani, menegaskan bahwa investasi memiliki peran signifikan dalam perekonomian nasional, dengan kontribusi sekitar 28%, setelah konsumsi domestik yang menyumbang lebih dari 50%. Namun, pertumbuhan ekonomi 5% ini perlu dikritisi: apakah angka ini benar-benar mencerminkan perbaikan kesejahteraan rakyat, ataukah hanya menjadi pencapaian statistik tanpa dampak nyata bagi kehidupan sehari-hari masyarakat yang masih bergulat dengan berbagai kesulitan ekonomi?
Peluang Kerja: Apakah Sesuai dengan Kebutuhan Rakyat?
Pertumbuhan ekonomi 5% memang dapat menciptakan lapangan kerja baru, terutama dalam sektor investasi dan industri hilirisasi. Namun, masalah utama bagi rakyat Indonesia bukan hanya soal jumlah lapangan kerja, tetapi juga kualitas dan keberlanjutannya. Sebagian besar pekerjaan yang tercipta di sektor investasi cenderung berorientasi pada tenaga kerja terampil dan berkualifikasi tinggi, sementara mayoritas rakyat masih berada di sektor informal dengan pendapatan tidak menentu. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi tidak serta-merta mengurangi tingkat pengangguran atau meningkatkan taraf hidup rakyat kecil.
Selain itu, upah minimum yang tidak sebanding dengan kenaikan harga kebutuhan pokok menjadi tantangan besar. Meskipun investasi meningkat, apakah itu berdampak langsung pada kesejahteraan buruh, petani, dan pekerja informal? Jika tidak, maka pertumbuhan ekonomi hanya akan memperkaya segelintir kelompok elit ekonomi tanpa memberi dampak positif bagi rakyat luas.
Kemiskinan: Apakah Pertumbuhan Ekonomi Bisa Mengurangi Beban Rakyat?
Pemerintah selalu mengklaim bahwa pertumbuhan ekonomi akan mengurangi kemiskinan, tetapi realitas di lapangan berkata lain. Biaya hidup terus meningkat, sementara akses terhadap layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan masih menjadi tantangan besar bagi banyak keluarga miskin. Harga sembako, bahan bakar, dan biaya transportasi terus merangkak naik, sementara bantuan sosial sering kali tidak merata dan tidak mencukupi kebutuhan hidup masyarakat miskin.
Jika pertumbuhan ekonomi 5% ini hanya berorientasi pada sektor industri dan investasi besar tanpa strategi nyata untuk mengangkat kesejahteraan kelompok miskin, maka ketimpangan ekonomi akan semakin lebar. Pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan ekonomi tidak hanya mengejar angka pertumbuhan, tetapi juga menjamin distribusi manfaat ekonomi yang lebih merata. Program-program yang berpihak pada masyarakat kecil seperti reformasi agraria, UMKM, dan perlindungan sosial harus menjadi prioritas.
Daya Beli Rakyat: Kenyataan Pahit di Tengah Pertumbuhan Ekonomi
Salah satu indikator utama kesejahteraan masyarakat adalah daya beli. Dalam konteks pertumbuhan ekonomi 5%, daya beli rakyat justru semakin terpuruk akibat kenaikan harga kebutuhan pokok yang tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan. Sektor konsumsi memang menjadi pendorong utama ekonomi, tetapi pertanyaannya: siapa yang benar-benar memiliki daya beli untuk menopang konsumsi domestik?
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa rakyat masih kesulitan membeli barang kebutuhan dasar, bahkan harus berhemat dalam belanja pangan dan kesehatan. Sementara itu, kenaikan harga BBM, listrik, dan pajak konsumsi terus menggerus kemampuan rakyat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jika pertumbuhan ekonomi tidak memberikan dampak langsung pada stabilitas harga dan kesejahteraan rakyat, maka angka 5% hanya menjadi ilusi statistik yang tidak relevan bagi masyarakat kelas bawah.
Kesimpulan: Pertumbuhan Ekonomi Harus Berorientasi pada Kebutuhan Rakyat
Pertumbuhan ekonomi 5% pada tahun 2025 hanya akan bermakna jika mampu menjawab kebutuhan rakyat secara nyata. Tantangan utama yang dihadapi rakyat Indonesia saat ini adalah lapangan kerja yang layak, harga kebutuhan pokok yang stabil, akses terhadap pendidikan dan kesehatan yang terjangkau, serta perlindungan sosial yang lebih kuat. Jika kebijakan ekonomi hanya mengejar investasi besar tanpa memperhatikan distribusi manfaatnya, maka pertumbuhan ini hanya akan menguntungkan segelintir elite ekonomi dan meninggalkan mayoritas rakyat dalam kondisi sulit.
Oleh karena itu, pemerintah harus memastikan bahwa setiap rupiah dari investasi yang masuk benar-benar menciptakan dampak sosial yang nyata. Kebijakan yang berpihak pada UMKM, buruh, petani, dan masyarakat miskin harus menjadi prioritas utama. Tanpa strategi yang konkret untuk memastikan pertumbuhan ekonomi benar-benar dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, angka 5% hanya akan menjadi retorika yang jauh dari realitas kehidupan rakyat Indonesia.