Bandung – Fusilatnews – Dalam Rencana Anggaran Belanja Provinsi Jawa Barat yang bersumber dari berbagai Perangkat Daerah, Gubernur terpilih Dedi Mulyadi menyoroti sejumlah pengajuan anggaran yang dianggap tidak rasional. Salah satunya adalah tagihan air sebesar Rp 6,7 miliar yang diajukan oleh Dinas Pendidikan. Hal ini disampaikan oleh Sekda Provinsi Jawa Barat, Herman Suryatman, kepada Dedi Mulyadi.
Tagihan tersebut, menurut Dedi, bukan berasal dari sekolah-sekolah melainkan dari kantor cabang Dinas Pendidikan hingga UPTD pendidikan.
“Ini tagihan air PDAM berarti, kan,” ujar Dedi. Ia menambahkan bahwa jika kantor cabang, unit Disdik, dan UPTD menghabiskan Rp 6,7 miliar per tahun, maka rata-rata anggaran per bulannya mencapai Rp 400 juta.
“Kira-kira mandi pakai apa, sampai biaya air Rp 400 juta sebulan?” ucap Dedi dengan nada heran. Menurutnya, perhitungan tersebut tidak masuk akal.
Ketimpangan Anggaran TIK dan Ruang Kelas
Selain soal tagihan air, Dedi juga mempertanyakan alokasi anggaran untuk teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang mencapai Rp 725 miliar, sementara anggaran untuk ruang kelas baru hanya Rp 61 miliar.
“Kita ini membantu kabupaten/kota, sementara banyak bangunan SMA yang belum selesai. Padahal kewajiban kita (pemprov) adalah SMA,” tegas Dedi dalam kanal YouTube Kang Dedi Mulyadi Channel dan dikonfirmasi kembali melalui telepon pada Kamis (23/1/2025).
Ia menyoroti bahwa setiap tahun persoalan yang selalu diributkan adalah kekurangan ruang kelas di SMA. “Tiap tahun saya enggak pernah dengar keributan soal masuk SD. Tapi kalau masuk SMA sampai demo turun ke jalan di Bogor,” jelasnya.
Dedi menegaskan, prioritas utama seharusnya menyelesaikan masalah ruang kelas SMA. Ia meminta Dinas Pendidikan untuk memberikan data kebutuhan ruang kelas baru agar pada tahun 2026 tidak ada lagi warga Jawa Barat yang kesulitan masuk SMA.
Dalam kesempatan tersebut, Sekda Herman Suryatman menjelaskan bahwa bantuan keuangan dalam anggaran tersebut terbagi menjadi tiga kelompok: kesejahteraan guru SD negeri di daerah terpencil, rehabilitasi SD dan SMP terdampak bencana, serta peningkatan sarana prasarana TIK.
Namun, menurut Dedi, alokasi anggaran TIK sebesar Rp 725 miliar jauh lebih besar dibandingkan kebutuhan ruang kelas baru yang hanya Rp 60 miliar.
“Lieur nu nyusun anggaran teh (Kacau yang susun anggaran). Ruang kelasnya cuma Rp 60 M, tapi teknologi informasi untuk SD dan SMP Rp 725 miliar. Padahal belum tentu itu kebutuhan mendesak,” kritik Dedi.
Ia pun meminta agar anggaran TIK tersebut ditunda dan dialihkan untuk membangun ruang kelas baru. “Anggaran itu tunda, enggak boleh. Kalau kita mau membantu kabupaten/kota, ya fokus pada ruang kelas baru. Itu yang dibutuhkan,” tegas Dedi.