Dalam politik itu, apa yang tersurat, belum tentu apa yang tersirat. Apa yang terlihat belum tentu apa yang termakna. Hari kemarin kita melihat Demo Mahasiswa yang berujung penyerangan pada seorang tokoh buzzer bernama AA. Apakah yang tersirat? Baiklah, pada dasarnya demo sering diartikan sebagai mekanisme menyuarakan aspirasi, mengeluarkan uneg-uneg, alias kritik atau bahasa kerennya protes. Di alam demokrasi, mekanisme menyuarakan aspirasi atau protes itu dilindungi undang-undang.
Semua tahu, wacana 3 periode adalah cek ombak.Pikiran semacam itu aja sudah jahat, dan membahayakan demokrasi. Jadi kalo presiden tidak tahu itu ya mustahil. Wacana 3 periode bisa dikatakan sebagai cek ombak, yang jika rakyat setuju dilanjut, tapi jika banyak yang protes ya berhenti. Ini jika issu sebagai modus. Tapi jika berencana tetap lanjut, meski gaduh, maka ditengarai issue sebagai pola. Ini yang bahaya. Berkali presiden bilang akan taat konstitusi, ya kalo pasal masa jabatan presiden undang-undangnya diamandemen menjadi 3 periode, namanya maksa. Maka demo mahasiswa itu penting, khususnya soal batasan kekuasaan presiden. Karena sudah kodratnya bahwa power tends to corrupt. Kekuasaan terlebih yang terlalu lama mencengkeram cenderung untuk disalahgunakan. Dan demo adalah mekanisme kontrol terhadap hegemoni kekuasaan.
Maka tidak ada asap jika tidak ada api. Bukan kali pertama muncul dipermukaan.
Pada Oktober 2019, sesaat setelah selesai Pemilu, isu serupa juga jadi pembahasan. Kala itu diungkapkan pertama oleh Sekjen Fraksi Partai Nasdem Jhony G Plate. Lalu wacana itu kembali digulirkan oleh Muhaimin, disusul ketua parpol lainnya dari Golkar, Airlangga Hartarto, dan dari PAM Zulkifli Hasan. Jadi jangan cuma bisa salahkan mahasiswa, ini hanya sebagai akibat dari orang-orang diatas yang mengeluarkan wacana tersebut. Para wakil rakyat di DPR diam, cenderung mengamini. Lalu bagaimana caranya menyampaikan protes jika tidak dengan demo. Jangan cuman menyalahkan akibat tapi lupa mencari sebab. Demo hanyalah salah satu akibat. Yang tak terpikir sebelumnya adalah pemerintah selaku pihak bermasalah yang mau didemo atau diprotes justru merancang skenario demo sendiri yang difasilitasi oleh polisi dan Setneg.
Dan terjadilah pertunjukan demo 114.
Terjadilah Demo yang disebut DEMO PLAT MERAH.
Namanya saja DEMO PLAT MERAH tentu ngga pake water cannon, gak ada pasukan anti huru-hara, gak ada tank, gak ada dorong-dorongan, gak ada gulungan kawat berduri. Sebelumnya Kapolri juga bilang bahwa polisi harus humanis, demikian juga panglima TNI bilang tentara tidak akan represif dan bertindak profesional. Ya iyalah humanis dan gak represif, wong bolone dhewe yang main sinetron demo kemarin.
Sebelumnya sudah dikondisikan bermunculan video-video lawas mahasiswa pendemo digebukin, dan kita secara tidak disadari telah ikut menyebarkan. Padahal itu adalah propaganda demi menyokong terjadinya sinetron kemaren. Soal propaganda, PKI mah jagonya propaganda. “Sebarkan Kebohongan terus-menerus, maka lama-lama kebohongan akan dianggap sebagai kebenaran.” (Joseph Goebbels).
Apa tujuannya?
Yakni biar publik beranggapan bahwa demo mahasiswa disusupi, demo mahasiswa anarkis, selain juga bertujuan menyasar kelompok yang selama ini diindikasi sebagai Radikal, alumni 212 salah satunya yang ditengarai hendak diberikan tindakan represif lanjutan.
Target besarnya adalah memisahkan demo mahasiswa dengan demo masyarakat. Sehingga gerakan mahasiswa akan menjadi kekurangan energi rakyat, dan lalu isu tiga periode akan tetap lempeng.
Saat sas-sus demo mahasiswa akan dilakukan, presiden langsung rapat, lalu bikin statement menegaskan pemilu tidak ditunda. Lucu, seperti sibuk nutup kotoran yang ditimbulkan sama menteri-menterinya sendiri. Meskipun dalam kesempatan Rapat Terbatas tgl 10 April 2022 itu Presiden Jokowi mengatakan, “Jadwal Pemilu tidak berubah”. Tapi siapa yang percaya? Bagaimana bisa percaya mulut yang terbiasa suka berbohong? Mulut mengatakan taat konstitusi. Disaat yang sama inner circle dan relawannya bergerak untuk 3 periode dan ngga ditindak. Terlalu banyak jejak kebohongan untuk bisa dipercaya. Presiden bilang jangan bicara 3 periode. Tapi jika oligarki Taipan ngotot, DPR ngebet, Luhut mupeng, 3 periode tetap akan jalan.
Yang jelas demi melemahkan dan memecah belah kekuatan perlawanan mahasiswa dan oposisi, selain mencitrakan bahwa demo mahasiswa itu telah disusupi, anarkis dan oposisinya bengis itu menggunakan buzzer istana dan media-media mainstream yang menjadi mesin politik rezim tentunya. Setelah usaha melempar wacana, para relawannya melakukan konsolidasi, deklarasi kebulatan tekad, lalu gerilya dengan aneka spanduk 3 periode di pelosok-pelosok daerah, sampai Luhut dan Jokowi pun hadir dalam acara deklarasi APDESI(Asosiasi Kepala Desa Seluruh Indonesia) yang menuai protes keras dari sejumlah elemen mahasiswa dan netizen. Maka kemudian disusunlah skenario demo, selain sebagai pemoles citra (seolah-olah) demokratis, sekaligus memasang umpan, jebakan untuk memancing kemarahan umat yang mereka indikasikan sebagai radikal. Salah satu tokoh buzzernya yang paling dibenci dipasang, kemudian umpan dianiaya oleh temannya sendiri untuk provokasi, lalu ditelanjangi entah oleh siapa, namanya juga decoy. Karena resiko berada di tengah-tengah aksi demonstrasi itu hanya ada 2; digebukin aparat keamanan atau digebukin demonstran.
Lalu gimana jika seandainya AA itu cuma martir aja? Sengaja disuruh pasang badan, dimajuin nemuin pendemo.Ketika dia digebukin, berarti skenario berhasil. Tinggal digiring narasinya. Tinggal dipecah-belah masyarakatnya.
Terbukti respon dari pihak istana begitu cepat, foto-foto terduga pengeroyok menyebar, lalu pernyataan Moeldoko, dan kemunculan Grace dari PSI dan sumber berita dari host TV Cokro yang mengatakan kedatangan AA untuk sebuah konten, dan AA sempat diwawancara bilang tidak sepakat dengan penundaan pemilu dan wacana 3 periode masa jabatan presiden. Serentak paska digelarnya sinetron demo berikut dengan decoynya, sudah tentu meraup simpati banyak orang. Medsos selain dipenuhi gambar pantat dan statemen umat yang justru bersyukur mengingat selama ini AA dianggap melakukan adu domba dan dianggap menista agama. Disisi lain dipenuhi kata-kata bijak filsafat humanisme, kemanusiaan dan HAM. Bahkan melalui salah satu influencer istana, tudingan anarkisme langsung diarahkan ke kadrun. Polarisasi itu dimulai dari kadrun cebong yang akhirnya AA jadi korban. Herannya DS tetep pakai istilah yang sama, dan itu artinya mempertahankan polarisasi. Tragis bener orang-orang ini.
Inilah yang terjadi kalau rasa keadilan masyarakat sudah tersakiti, walaupun cara-cara seperti ini mestinya tidak boleh terjadi, semoga menjadi pelajaran bagi kita semua terutama aparat penegak hukum agar tidak pilih kasih dalam menegakkan hukum.
Sekarang opini yang berkembang justru bukan pada demonya, tapi lebih kepada kekerasan dan anarkisnya. Opini-opini itulah yang kini bertarung dan ini penting digaribawahi agar demo mahasiswa tidak distigma sebagai demo yang disusupi, anarkis dan lain-lain.
Kita jadi kehilangan substansi tujuan demo mahasiswa, karena berita pemukulan AA lebih besar mendominasi media dibandingkan pemberitaan tuntutan mahasiswa di persoalan kerakyatan.
Ini proyek menguntungkan bagi polisi dan Setneg karena bisa berarti kenaikan anggaran, makin chaos, makin untung. Bagi oligarki, demo merupakan ancaman bagi stabilitas kapital mereka. Sudah pasti terbayang dalam kalkulasi mereka, berapa banyak kerugian yang akan mereka tanggung dengan terhambatnya atau kehilangan mesin kapital mereka. Tidak ingin kekuasaan yang manis lepas dari cengkeraman, apapun dilakukan, mereka rela mengeluarkan kocek yang tidak sedikit untuk membayar para centeng berikut gedibalnya demi mempertahankan kekuasaan, memperkokoh cengkeraman daan hegemoni nya agar selamanya Indonesia sebagai jongos alias negara jajahan yang bisa dengan leluasa dikeruk sumber daya alamnya sekaligus pasar untuk melempar produk dan sampah industrinya.
Yang penting bagi pemilik hajatan, untuk sementara bisa bernafas lega dan bisa menyusun rencana busuk selanjutnya. Sementara masyarakat bahagia, karena orang yang dianggap public enemy sudah bonyok dihakimi massa, sedang kubu pro juga ayem karena junjungannya tak tersentu sedikitpun, dan oligarki senang karena posisinya tak bergeser sesenti pun. (mda)
Kopi_kir sendirilah!
By Malika D. Ana