Sikap Presiden Joko Widodo atas usulan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden dinilai tidak tegas dan multitafsir. Jokowi dianggap tidak menunjukkan penolakan terhadap wacana tersebut, dan malah memberikan pemakluman. Presiden hanya menyatakan bakal patuh pada konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945. “Kita bukan hanya taat dan tunduk, tetapi juga patuh pada konstitusi,” kata Jokowi di Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat (4/3/2022), dilansir dari Kompas.id edisi Sabtu (5/3/2022).
Di saat bersamaan, Jokowi mengatakan, wacana penundaan pemilu tidak bisa dilarang. Sebab, hal itu bagian dari demokrasi. Namun, sekali lagi, ia menegaskan bakal tunduk dan patuh pada konstitusi. “Siapa pun boleh-boleh saja mengusulkan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden, menteri atau partai politik, karena ini kan demokrasi. Bebas aja berpendapat. Tetapi, kalau sudah pada pelaksanaan, semuanya harus tunduk dan taat pada konstitusi,” kata Jokowi. Sikap ini tidak sekeras pernyataan Jokowi sebelumnya.
Mengungkapkan wacana melanggar konstitusi, itu bukan dalam rangka demokrasi Jokowi. Demokrasi tidak identik dengan kebebasan sebebas-bebasnya. Demokrasi itu regulated. Diatur oleh etika dan norma2 nilai budaya hukum ketata negaraan (politik). Kita bisa menyampaikan pendapar dan pikiran, atas nama demokrasi, dalam koridor Konstitusi yang berlaku yang ingin kta hormati.
Pada kesempatan sebelumnya, Jokowi juga mengambil dalil Demokrasi Gotong Royong, untuk memframing Gerindra bergabung ke Pemerintahannya. Sepertinya kata Gotong Royong lebih disukai oleh Jokowi daripada kata Musyawarah dan mufakat. Tentu saja, kita maklum, karena gotong royong adalah jargon partai yang menugaskannya.
Penganut Demokrasi mindsetnya adalah bebas sebebasnya boleh melakukan apa saja yang mereka inginkan dengan menganut kepada dalil “freedom of expression”. Ia boleh melakukan berbagai macam kritik, bahkan menghina dinakannya, atau keberpihakan kepada berbagai ideas, values atau nilai-nilai dan pendapat-pendapat.
Itulah yang dilakukan oleh manusia-manusia yang hidup di Negara-negara maju. Agama, bagi mereka tak ubahnya merupakan sebuah idea-idea saja, sehingga boleh di soroti dengan kritik, dan termasuk melecehkannya, karena ia bukan makhluk (manusia). Karena itu, di USA the innocence of Muslims, sebuah film yang di anggap menghina ajaran Islam tidak dapat dituntut ke ranah hukum.
Berbeda, kalau anda menatap seorang wanita dengan tatapan yang seolah-olah anda terangsang gairah sexualnya. Atau menyiuli wanita yang lewat di depan anda, atau memaksa istri anda sendiri melakukan hubungan sexual, anda bisa dituntut sebagai tindakan criminal dengan tuduhan sex harassment.
Pada sisi lain, penganut orang-orang yang beragama, seperti Muslim, dibombing cara berfikir dan hidupnya oleh dogma-dogma agama itu, mau masuk akal atau tidak, mau mengerti atau tidak, ketika itu perintah dalam al-quran ataupun hadist, kewajibannya tunduk dan taat. Sami’na wa atho’na.
Mengvisualkan saja sosok Nabi Muhammad, adalah dilarang didalam ajaraan Islam, apalagi memperolok-oloknya.
Nah, ketika dua komunitas tersebut bertemu pada suatu kasus, seperti yang dilakukan oleh Media Perancis itu, maka terjadilah bunuh membunuh.
Bila belum menemukan apa yg dimaksud denga demokrasi tukang cendol, seperti judu diatas, akhir Februari lalu, beredar video di media sosial seorang tukang cendol di Sidorajo yang mendukung Presiden Joko Widodo atau Jokowi menjabat 3 periode. Dari video ini, tukang cendol tersebut mengaku bernama Bangun Wahyudi dari Purbalingga, Jawa Tengah. Ditemui Tempo pada awal Maret lalu, Bangun mengaku mendapat Rp 200 Ribu untuk setelah direkam untuk video tersebut.