Oleh: Entang Sastraatmadja-Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat
Kebijakan satu harga gabah yang disertai penugasan kepada Perum Bulog untuk membeli gabah petani dengan harga minimal Rp6.500 per kilogram terbukti mampu mendorong penyerapan gabah secara signifikan. Hingga akhir Mei 2025, serapan gabah Bulog tercatat mencapai sekitar 1,9 juta ton dan diperkirakan dapat menembus 2 juta ton setelah panen raya selesai. Capaian ini turut mengangkat cadangan beras pemerintah menjadi 3,9 juta ton—angka tertinggi dalam sejarah ketahanan pangan Indonesia selama hampir 80 tahun terakhir.
Sebagai pembanding, prestasi sebelumnya diraih pada era Orde Baru saat Indonesia meraih penghargaan swasembada beras dari FAO tahun 1984 dengan cadangan sebesar 3,1 juta ton. Maka, tak berlebihan bila capaian tahun ini dinilai sebagai lompatan prestasi yang membanggakan.
Keberhasilan Bulog tentu tidak terlepas dari dukungan regulasi, terutama pelonggaran syarat kualitas gabah. Petani kini tidak lagi dibebani kewajiban memastikan kadar air maksimal 25% dan kadar hampa maksimal 10% untuk menjual gabah ke Bulog. Bahkan, meski dalam kondisi basah, gabah tetap harus dibeli oleh Bulog dengan harga yang sama.
Di sinilah kemudian muncul istilah “gabah any quality”—sebuah istilah yang menggambarkan realitas bahwa Bulog menyerap gabah dengan kualitas beragam, dari yang baik hingga yang jauh dari standar ideal. Meskipun kebijakan ini berpihak kepada petani secara ekonomi jangka pendek, ada konsekuensi jangka panjang yang tidak boleh diabaikan: penurunan standar kualitas gabah nasional dan potensi membebani sistem logistik serta pengolahan beras di kemudian hari.
Kondisi ini tidak bisa dibiarkan terus-menerus tanpa intervensi strategis. Penyerapan gabah oleh Bulog tetap harus berpijak pada prinsip kualitas yang terukur. Gabah yang diserap idealnya memenuhi standar tertentu agar beras yang dihasilkan berkualitas, aman disimpan, dan bernilai jual tinggi.
Dalam konteks inilah, peran penyuluh pertanian menjadi sangat krusial. Para penyuluh adalah kunci untuk mendorong perubahan perilaku petani dari sekadar menjual hasil panen menjadi menghasilkan panen yang berkualitas.
Gabah yang berkualitas memiliki karakteristik tertentu, di antaranya:
- Kadar air ideal (14–15%), agar lebih awet dan tidak mudah rusak.
- Bebas dari kotoran, kerikil, dan benda asing lain.
- Tidak berjamur, menjaga mutu dan kesehatan konsumen.
- Warna cerah alami, seperti kuning keemasan atau hijau muda.
- Berat jenis tinggi, yang menandakan kepadatan dan potensi hasil beras lebih banyak.
Dengan karakteristik ini, gabah akan menghasilkan beras yang pulen, harum, dan disukai pasar. Penyuluh pertanian harus aktif mendampingi petani agar mampu memahami dan menerapkan praktik budidaya serta pascapanen yang mendukung mutu gabah.
Meskipun kebijakan membolehkan petani menjual gabah dalam kondisi apa pun, semestinya tidak menjadi alasan untuk membiarkan rendahnya kualitas. Jika Bulog dapat bersinergi dengan para penyuluh, peluang untuk menyerap gabah bermutu tetap terbuka lebar—tanpa harus mencabut kebijakan satu harga.
Ke depan, tantangannya adalah menyusun materi edukasi yang tepat dan membumi, agar mudah diterima oleh petani. Edukasi tidak perlu dimulai dari ideal yang rumit. Mulailah dari dasar seperti pengeringan pascapanen, penyimpanan sederhana, dan pemilahan awal gabah sebelum dijual.
Dengan begitu, kebijakan satu harga gabah tidak hanya akan menjadi solusi jangka pendek bagi petani, tetapi juga akan menopang sistem pangan nasional yang sehat dan berkelanjutan. Jika edukasi ini berjalan konsisten, istilah gabah any quality akan perlahan hilang, berganti menjadi gabah berkualitas untuk ketahanan pangan Indonesia.