Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI)
Jakarta – Ini masih soal pameran lukisan karya Yos Suprapto (72) yang dibreidel itu. Pembreidelnya adalah Menteri Kebudayaan Fadli Zon melalui Galeri Nasional yang dikepalai oleh Plt Kepala Galeri Nasional Jarot Mahendra, karena sang kurator, Suwarno Wisetrotomo mengundurkan diri setelah berselisih pendapat dengan Yos.
Pameran itu sendiri sedianya berlangsung mulai 19 Desember 2024 hingga 19 Januari 2025 di Galeri Nasional, Jakarta. Namun, hanya beberapa menit menjelang dibuka, Kamis (19/12/2024) malam, tiba-tiba Galeri Nasional melakukan pembatalan. Pintu masuk gedung pameran digembok. Lampu-lampu dipadamkan. Para-para pengunjung yang sudah terlanjur datang dilarang masuk. Publik kecewa.
“Saya bilang ini pembreidelan,” kata Yos Suprapto, perupa senior asal Yogyakarta yang lahir di Surabaya tahun 1952 dan pernah 25 tahun tinggal di Australia, Jumat (20/12/2024).
Galeri Nasional berdalih pembatalan pameran lukisan itu karena sang kurator, Suwarno Wisetrotomo mengundurkan diri. Adapun alasan Suwarno mundur karena berselisih pendapat dengan Yos.
Mengapa keduanya berselisih pendapat? Karena Suwarno minta 5 dari 30 lukisan Yos ditutup kain hitam atau bahkan diturunkan. Dalihnya, 5 lukisan itu tidak sesuai dengan tema pameran, yakni “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan”.
Sebaliknya, Yos “keukeuh” semua lukisannya wajib ditampilkan, meskipun ia bersedia dua lukisannya yang berjudul “Konoha I” dan “Konoha II” ditutup kain hitam. Kesepakatan pun gagal tercapai.
Salah satu lukisan yang ditolak Suwarno, yakni “Konoha I”, menggambarkan sesosok raja bermahkota yang duduk di singgasana kekuasaannya sambil kedua kakinya menginjak dua sosok manusia, sementara di belakang raja ada pasukan berseragam cokelat dan hijau.
Banyak yang menafsirkan sosok raja itu ialah Joko Widodo, Presiden ke-7 RI yang dalam menggenggam kekuasaannya didukung Polri (cokelat) dan TNI (hijau).
Sesuara dengan Suwarno, Fadli Zon menyatakan 5 lukisan Yos yang diminta diturunkan itu terlalu vulgar dan bermuatan politik serta menghujat seseorang.
Ironisnya, dalam memaknai lukisan Yos, politikus Partai Gerindra itu tanpa melihat terlebih dulu lukisan-lukisan dimaksud dan tanpa pula berdialog dengan Yos. Zon hanya menerima laporan “ABS” (Asal Bapak Senang) dari Suwarno dan Jarot Mahendra
Mungkin Suwarno dan Jarot Mahendra mengalami dilema. Bak menghadapi buah Simalakama. Betapa pun keduanya adalah seorang Aparatur Sipil Negara (ASN): Suwarno dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Jarot Mahendra Plt Kepala Galeri Nasional. Laporan ABS pun mereka sampaikan ke Fadli Zon.
Tidak hanya bagi Fadli Zon yang ironis, pembatalan (pembreidelan) pameran lukisan Yos juga ironis bagi Galeri Nasional.
Bagi Zon, ironis karena ia seorang Menteri Kebudayaan yang mestinya paham akan seni dan budaya. Seni dan budaya bukan ilmu eksakta yang kalau 1 ditambah 1 hasilnya pasti 2. Ilmu eksakta punya tafsir tunggal. Sebaliknya, seni dan budaya itu multitafsir. Relatif. Nisbi. Tergantung dari sudut mana kita memandang.
Sebab itu, mestinya serahkan saja kepada publik untuk menilainya yang tentu saja akan lebih objektif, tidak tendensius. Jangan main hakim sendiri.
Apalagi, Zon adalah pelaku budaya sebagai kolektor Keris, senjata tradisional etnis Jawa, warisan luhur budaya bangsa.
Yos akhirnya menilai Zon tak pantas jadi Menteri Kebudayaan. Yos juga mengaku tidak mau lagi berurusan dengan Zon dan Galeri Nasional. Ia memilih gulung tikar, membawa kembali pulang 30 lukisannya ke Yogyakarta dengan perasaan getir. Pameran tunggal yang sudah ia persiapkan selama setahun pun ambyar dan tinggal mimpi belaka.
Adapun ironisme bagi Galeri Nasional adalah karena lembaga ini menyandang kata “nasional”. Nasional, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti kebangsaan yang meliputi segala hal tentang suatu bangsa yang berkaitan dengan kebudayaan hingga cita-cita.
Akibat melakukan pembreidelan pameran lukisan Yos, atau siapa pun, maka Galeri Nasional pun bercita rasa kolonial. Galeri nasional rasa kolonial.
Kolonial berarti berhubungan dengan sifat jajahan, atau penjajah. Jadi, akan lebih tepat jika Galeri Nasional berganti nama menjadi Galeri Kolonial. Sebab hanya pemerintah kolonial yang bisa melakukan pembreidelan sebuah pameran lukisan. Padahal dalam sejarahnya tak pernah sebuah rezim pemerintahan tumbang hanya karena sebuah pameran lukisan.
Sementara Indonesia kini adalah negara demokrasi. Pembreidelan pameran lukisan itu jelas merupakan pelanggaran terhadap konstitusi atau Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menjamin kebebasan berekspresi.
Pembreidelan pameran lukisan itu juga merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dilindungi konstitusi dan undang-undang.
Ironisnya, pembreidelan acara kesenian dan kebudayaan itu justru terjadi di masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang baru saja membentuk Kementerian Kebudayaan, berdiri sendiri dan terpisah dari Kementerian Pendidikan yang sebelum-sebelumnya disatukan.
Apakah Prabowo memang sedang membangkitkan militerisme mengingat ia berlatar belakang militer sebagai bekas Komandan Jenderal Kopassus?
Ataukah ia menempuh cara-cara rezim Orde Baru yang represif terhadap kritik, mengingat bekas Menteri Pertahanan itu adalah bekas menantu mendiang Presiden Soeharto penguasa rezim Orde Baru?
Pembreidelan pameran lukisan itu justru kian menebalkan citra Prabowo sebagai terduga pelanggar HAM seperti yang pernah ia lakukan di tahun 1997-1998.
Kalau tidak ada evaluasi dari Prabowo kepada Fadli Zon dan Jarot Mahendra, maka benar dugaan publik bahwa pembreidelan pameran lukisan Yos Suprapto itu atas seizin Ketua Umum Partai Gerindra itu.
Kecuali jika nanti ada evaluasi terhadap Fadli Zon dan Jarot Mahendra. Untuk itu, kita tunggu saja tanggal mainnya.