Pemberian gelar Doktor Honoris Causa (DR HC) kepada Raffi Ahmad oleh Universal Institute of Professional Management (UIPM) baru-baru ini menuai kontroversi. Gelar kehormatan dalam bidang Event Management and Global Digital Development ini diberikan karena kontribusi Raffi dalam industri hiburan dan pengembangan dunia digital di bidang kreatif. Namun, gelar tersebut justru menimbulkan perdebatan karena status operasional, akreditasi, dan legalitas UIPM dipertanyakan, terutama oleh pihak Kemendikbudristek.
Polemik ini mencerminkan salah satu masalah mendasar dalam dunia pendidikan: pemberian gelar akademik tanpa dasar yang kuat. Gelar kehormatan seharusnya mencerminkan pencapaian intelektual dan kontribusi luar biasa di bidang akademis atau profesional. Namun, dalam kasus ini, kita melihat bagaimana gelar tersebut dapat digunakan secara sembrono, menjadikan pendidikan lebih sebagai “alat” untuk mendapatkan status sosial dan pengakuan semu daripada sarana untuk mengejar ilmu dan membangun akal budi.
Dunia Pendidikan dan Penghargaan yang Melemah
Seiring dengan berjalannya waktu, ada tren di mana pemberian gelar kehormatan sering kali disematkan kepada figur publik yang memiliki popularitas tinggi tetapi tanpa prestasi ilmiah yang signifikan. Hal ini menurunkan esensi dari penghargaan akademik itu sendiri. Gelar Honoris Causa seharusnya diberikan kepada individu yang benar-benar telah memberikan sumbangsih besar di bidangnya, dengan pengakuan dari lembaga pendidikan yang bereputasi dan terakreditasi.
Dalam kasus UIPM, lembaga ini bahkan tidak tercatat dalam Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti) di Indonesia, yang berarti tidak diakui secara hukum oleh pemerintah. Hal ini membawa kita pada pertanyaan, apa tujuan dari pemberian gelar ini? Apakah sekadar untuk meningkatkan status seseorang di mata publik? Atau apakah gelar ini hanya sekadar “simbol” tanpa substansi?
Pendidikan yang Kehilangan Nilai
Pemberian gelar kehormatan tanpa melalui proses seleksi yang ketat dan didasari oleh pengakuan ilmiah yang sah berpotensi merusak reputasi dunia pendidikan. Ini seperti membangun ilusi bahwa pendidikan hanyalah soal formalitas, gelar, dan pengakuan publik, bukan mengenai akumulasi ilmu pengetahuan, etika, dan kontribusi nyata.
Jika fenomena ini dibiarkan, pendidikan bisa menjadi komoditas yang diperjualbelikan demi popularitas dan prestise semu, bukan sebagai medium untuk mencerdaskan bangsa. Apa gunanya gelar akademik jika ia tidak lagi mencerminkan pencapaian intelektual?
Tantangan Dunia Pendidikan di Era Digital
Era digital memang membuka banyak peluang baru, termasuk dalam dunia pendidikan. Namun, ini juga membuka pintu bagi lembaga-lembaga yang beroperasi di area abu-abu, seperti UIPM yang tidak memiliki izin dari Kemendikbudristek untuk memberikan ijazah yang diakui di Indonesia. Hal ini berbahaya karena publik bisa tertipu oleh lembaga pendidikan yang tidak diakui secara resmi, tetapi tetap menawarkan gelar-gelar akademik.
Pemerintah dan lembaga terkait harus bertindak tegas dalam mengawasi institusi pendidikan, terutama yang berbasis online. Regulasi yang ketat diperlukan agar tidak ada lagi lembaga yang seenaknya memberikan gelar tanpa akreditasi yang sah.
Kesimpulan: Pentingnya Integritas dalam Pendidikan
Pemberian gelar DR HC kepada Raffi Ahmad mungkin menjadi sinyal bahwa dunia pendidikan kita sedang mengalami krisis integritas. Gelar akademik, termasuk Honoris Causa, seharusnya diberikan kepada individu yang layak, bukan karena popularitas atau pencapaian semu.
Pendidikan bukanlah alat untuk mendapatkan status atau pengakuan semata. Ia adalah proses membangun manusia yang berilmu, beretika, dan bermanfaat bagi masyarakat. Jika kita terus membiarkan gelar akademik diberikan secara sembarangan, kita sedang menuju pada degradasi kualitas intelektual bangsa. Dunia pendidikan harus kembali pada esensinya: mengejar ilmu, mengasah budi pekerti, dan memberikan kontribusi nyata.