Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Anslis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI).
Jakarta, Fusilatnews. – Dunia politik adalah dunia koboi. Seorang koboi, kalau tidak membidik ya dibidik. Kalau tidak menembak ya ditembak. Demikianlah.
“Homo homini lupus,” kata Plautus (meninggal dunia tahun 184 SM) dalam karyanya, “Asinaria” (195 SM) dan ditegaskan oleh Thomas Hobbes (1588-1679) yang artinya “manusia adalah serigala bagi sesamanya”. Di dunia politik yang berlaku adalah hukum rimba. Siapa yang kuat, dialah yang menang.
Demikianlah Hasto Kristiyanto. Jika biasanya membidik, kali ini giliran Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan itu yang dibidik. Bahkan oleh dua institusi sekaligus: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian RI (Polri).
Hasto pun ibarat “banteng ketaton” yang sedang dibidik. Banteng mengacu pada lambang PDIP, yakni kepala banteng dengan moncong putih dalam lingkaran. “Ketaton” atau terluka mengacu pada luka politik yang ditimbulkan oleh kekalahan Ganjar Pranowo-Mahfud Md, calon presiden-wakil presiden yang diusung PDIP dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Seekor banteng kalau sudah terluka, maka ia akan mengamuk sejadi-jadinya.
Ya, pasca-jagoannya kalah, Hasto Kristiyanto memang selalu bersuara lantang, meneriakkan dugaan kecurangan pemilu, dan kecurangan-kecurangan lain terkait pemerintahan Presiden Joko Widodo setelah PDIP dan Jokowi pecah kongsi. Teriakan-teriakannya yang lantang itulah yang berbuah pelaporan dirinya ke Polda Metro Jaya.
Bukankah KPK dan Polri adalah lembaga hukum? Tidak salah. Tapi ingat, Undang-Undang (UU) No 19 Tahun 2019 tentang KPK, dan juga UU No 2 Tahun 2002 tentang Polri yang kini sedang dalam proses revisi di DPR RI adalah produk politik. Sesuai ketentuan Pasal 20 UUD 1945, undang-undang dibuat bersama oleh DPR dan Presiden.
Begitu pun Pimpinan KPK dan Kapolri, mereka diajukan oleh Presiden dan dipilih oleh DPR setelah melalui “fit and proper test” (uji kelayakan dan kepatutan). Jadi, Pimpinan KPK dan Kapolri pun produk politik.
Nah, saat berproses dalam produk politik itulah para politisi bisa seperti koboi yang membidik dan menembak lawan-lawannya. Jika sudah tertembak, jangan harap seseorang bisa lolos menjadi Pimpinan KPK atau Kapolri. Mereka bisa tidak diloloskan oleh DPR.
Kini, giliran KPK dan Polri yang membidik politisi, dalam hal ini Hasto Kristiyanto. KPK dan Polri pun ibarat senjata. Lalu, siapa sesungguhnya dalang yang berada di belakang KPK dan Polri yang sedang membidik Hasto? Siapa “the man behind the gun”-nya?
Diberitakan, minggu depan KPK akan memeriksa Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto sebagai saksi dalam perkara Harun Masiku.
Harun Masiku adalah tersangka kasus suap terhadap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017-2022 Wahyu Setiawan. Tujuan penyuapan agar ia menjadi anggota DPR dari Fraksi PDIP untuk menggantikan Nazaruddin Kiemas yang meninggal dunia pada Maret 2019.
Namun setelah ditetapkan menjadi tersangka, Harun Masiku kabur. KPK kemudian menyatakan Harun buron sejak 2020. Ia sempat diduga berada di luar negeri. Akan tetapi, Polri dan Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menyatakan Harun masih berada di dalam negeri. Siapa yang menyembunyikan Harun?
Terbetik kabar, saat Wahyu Setiawan terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK, Rabu (8/1/2020), Harun pun sebenarnya terkena OTT juga. Akan tetapi disebut ada pihak yang diduga melakukan intervensi sehingga Harun dilepas kembali. Disebut ada orang kuat di belakang Harun Masiku.
Itulah yang antara lain akan ditelisik KPK dalam pemeriksaan Hasto pekan depan. Penyidik KPK pun sudah meminta keterangan dari sejumlah saksi lain, di antaranya pengacara Simeon Petrus, serta dua orang mahasiswa, yakni Hugo Ganda dan Melita De Grave terkait persembunyian Harun Masiku.
Sementara itu, Selasa (4/6/2024) kemarin,
Polda Metro Jaya melakukan pemeriksaan terhadap Hasto Kristiyanto terkait dugaan penyebaran hoaks atau berita bohong sebagai buntut mantan anggota DPR itu mengungkap dugaan kecurangan Pemilu 2024 di stasiun televisi.
Hasto dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh dua orang bernama Hendra dan Bayu Setiawan, dengan dugaan tindak pidana penghasutan dan/atau menyebarkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memuat pemberitaan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat sebagaimana dimaksud Pasal 160 KUHP dan/atau Pasal 28 ayat (3) juncto Pasal 45A ayat (3) UU No 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Lalu, siapa Hendra dan Bayu?
Hasto sendiri mengaku tidak kenal keduanya. Sebab itu Hasto yakin pelaporan atas dirinya itu “by order” alias berdasarkan pesanan pihak tertentu. Ada “the man behind the gun” di balik Hendra dan Bayu.
Siapakah dia atau mereka? Biarlah waktu yang bicara.
Hanya saja, apa yang disampaikan Hasto dalam wawancaranya di media televisi merupakan bagian dari kebebasan berbicara dan berpendapat yang dijamin konstitusi dan undang-undang.
Apa yang dibicarakan Hasto dengan media televisi juga merupakan produk jurnalistik, sehingga jika ada sengketa menyangkut produk jurnalistik, penyelesaiannya adalah dengan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers atau UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan pengaduannya dilayangkan ke Dewan Pers atau Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), bukan ke Polda Metro Jaya atau bahkan Mabes Polri.
Dilihat dari respons polisi atas laporan Hendra dan Bayu, maka jika ada kecurigaan publik bahwa Hasto Kristiyanto sedang dalam bidikan entah siapa makin menemukan relevansinya. Itulah!