Sri-Bintang Pamungkas
Sebagian dari tulisan ini sudah pernah saya tulis dalam tulisan sebelumnya, yaitu tentang Kekuasaan Mahkamah Agung. Akan tetapi tidak saya lanjutkan hingga cukup, karena maksud tulisan terdahulu itu terfokus pada masalah lain.
Sebagaimana dapat dibaca pada Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945 (tentu bukan yang palsu hasil Amandemen), Mahkamah Agung (MA) adalah pemegang Kekuasaan Kehakiman. Dari Pasal-pasal tersebut, yang terlebih-lebih penting adalah Penjelasannya Pasal demi Pasal. Dalam penjelasannya terhadap Pasal 24 dan Pasal 25 tersebut, ditulis sebagai berikut:
Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim.
Meskipun dalam Amandemen yang dibikin Amien Rais atas perintah Amerika Serikat itu Pasal 24 dan 25 tersebut sudah “dirusak” dan Penjelasan atas UUD 1945 Pasal demi Pasal juga sudah “dibuang”, akan tetapi marwah yang terkandung dalam Penjelasan, bahwa MA adalah “pemegang kekuasaan kehakiman yang merdeka dan terlepas dari kekuasaan pemerintah” itu diakui dan berlaku di negara-negara mana pun di dunia yang berdasarkan Hukum (Constitutional State. Negara Hukum).
Di dalam situasi Indonesia sekarang, dengan adanya Amandemen, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sudah kehilangan marwah dan kekuasaannya, serta fungsinya sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah, tidak lagi Mandataris MPR; Ptesiden tidak lagi tunduk kepada MPR… Bahkan, MPR-lah yang sekarang tunduk kepada Presiden (sekalipun di jaman Soeharto demikian juga!).
Oleh sebab itu, Mahkamah Agung sekarang ini menjadi satu-satunya Lembaga Tinggi Negara yang bebas dari Kekuasaan Pemerintah. Demikian pula para hakim dan Hakim-hakim Agungnya selayaknya menjadi hakim-hakim yang merdeka dan tidak tunduk kepada Pemerintah…
Keberadaan Mahkamah Konstitusi tidak pula mengurangi sedikit pun kekuasaan Mahkamah Agung atas Kekuasaan Kehakiman. Saya sudah mengingatkan Jimly Asshiddiqie ketika menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi, tentang dualisme dalam Kekuasaan Kehakiman dan konflik kepentingan di antara kedua lembaga hukum tersebut. Jimly membantah dengan mengatakan bahwa Indonesia mengikuti hukum Eropa…
Rupanya dalam diri Jimly, juga ketua-ketua MK sesudahnya, Amien Rais dan para pendukung UUD 2002 lainnya… mereka memang sengaja merusak Republik Indonesia 1945, sebagaimana PKI Gaya Baru menginginkan. Para Founding Fathers kita, pada 1945 memang belum sempat membicarakan kemungkinan konflik materi Undang-undang dengan Undang Undang Dasar, sekalipum melalui Pasal 24 dan 25 bisa diterbitkan Undang-undang untuk mencegah terjadinya konflik tersebut.
Baru pada 1949 dan 1950, melalui UUD RIS dan UUDS 50, dimunculkan Pasal tentang Majelis Pertimbangan Konstitusi, suatu Majelis yang sidang-sidangnya bisa diadakan di dalam dan oleh Mahkamah Agung… manakala diperlukan. Di mana tugas Majelis Pertimbangan Konstitusi itu lebih-kurangnya sama dengan Mahkamah Konstitusi sekarang, kecuali soal Pilpres!
Dengan adanya Majelis Pertimbangan itu, Kekuasaan Kehakiman tidak terbelah seperti sekarang. Menarik pula untuk disimak, bahwa di Amerika Serikat sendiri tidak ada Mahkamah Konstitusi seperti di Eropa dan di Indonesia sekarang. Jadi, untuk apa Medeleine Albright membawa konsep Mahkamah Konstitusi kepada Ketua MPR-RI untuk dijiplak?!
Ternyata keberadaan Mahkamah Konstitusi itu tujuannya adalah untuk menggantikan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Oleh sebab itulah MK dengan “panggung patung kuda”-nya sejak 2004 menjadi perhelatan masyarakat menghadapi hasil Pemilihan Presiden (Pilpres). PKI Gaya Baru merancang semua ini agar terjadi…
Setelah kerusakan demi kerusakan berlangsung selama puluhan tahun, dan rakyat banyak yang selalu menjadi korbanmya, maka salahsatu, atau bahkan satu-satunya, yang bisa diharapkan, dalam kerangka solusi damai, adalah Fatwa atau Putusan Mahkamah Agung… Kekuasaan Tinggi Negara yang masih merdeka dari Kekuasaan-kekuasaan lain, khususnya Kekuasaan Pemerintah.
Seandainya Ketua Mahkamah Agung, para Hakim Agung dan hakim-hakim di bawah jajaran Kekuasaan Kehakimam menyadari hal itu, tentulah Keadilan dan Kebenaran bisa tegak di Republik ini… Dan mereka benar-benar bisa menjadi Wakil Tuhan di Muka Bumi… Subhanallah!
Eggy Sudjana dan kawan-kawannya tidak perlu sibuk-sibuk dan ribut-ribut dengan Ijazah Jokowi yang palsu… Cukup isyu Ijazah Palsu itu menjadi masukan bagi Ketua Mahkamah Agung untuk mengeluarkan Putusan berupa Perintah agar Jokowi memperlihatkan Ijazahnya… Apabila tidak bisa, maka Rektor Universitas Gadjah Mada harus memperlihatkan copy-nya! Apabila Ijazah itu memang tidak ada, maka Jokowi harus diperintahkan turun… serta diproses hukumnya sebagai Penipu dan lain-lain kejahatan…
Mahkamah Agung bisa berbuat lebih banyak lagi terhadap Rezim Jokowi melalui Putusan-putusannya. Segala kebijakan Rezim yang bertentangan dengan Pancasila dan Konstitusi harus diputus Batal Demi Hukum. Begitu banyaknya kejahatan Rezim Jokowi yang harus dinyatakan bertentangan dengan hukum, termasuk Utang Luar Negeri, Kereta Api Cina, Omnibus Law , IKN, UKT, Tapera, Penyerobotan Lahan dan Sumberdaya Alam, masuknya Orang-orang Cina serta semua yang membikin Rakyat menderita dan teraniaya…
Bahkan sesungguhnya Mahkamah Agung bisa memutuskan Pemilu 1999 (juga Pemilu-pemilu Curang lain sesudahnya) adalah Batal Demi Hukum… Demikian pula keberadaan MPR 99 dan Amandemen UUD45. Bahwa semuanya itu secara formil dan materiil adalah batal demi hukum, tidak adil, tidak membawa kepastian hukum, tidak berguna dan tidak bermanfaat!
Juga tidak boleh dilupakan Pasal Sapujagat yang terbit pada UUD RIS dan UUDS 50 di bawah Bab Pengadilan yang bunyinya sebagai berikut:
“Presiden, Wakil Presiden, Menteri-menteri, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Mahkamah Agung, Jaksa Agung pada Mahkamah Agung, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Dewan Pengawas Keuangan, Presiden Bank Sirkulasi dan juga pegawai-pegawai, anggota-anggota Majelis-majelis Tinggi dan Pejabat-pejabat lain yang ditunjuk dengan undang-undang diadili dalam tingkat pertama dan tertinggi juga oleh Mahkamah Agung, pun sesudah mereka berhenti, berhubung dengan kejahatan dan pelanggaran lain yang ditentukan dengan undang-undang dan yang dilakukannya dalam masa pekerjaannya”….
Dengan Pasal Sapujagat tersebut, siapa pun Presiden dan Rezimnya, dari Soekarno sampai Jokowi, bisa dituntut di muka Mahkamah Agung…
Jakarta, 5 Juni 2024
@SBP