…… bahwa dinamika politik dan kekuatan partai seringkali menjadi penentu utama dalam perkembangan politik setelah seseorang meninggalkan jabatan publik tertinggi.
Keberadaan dukungan politik terhadap seorang pemimpin sering kali ditopang oleh kepentingan pragmatis partai politik yang mendukungnya. Saat seorang tokoh politik atau penguasa memegang kekuasaan, dukungan tersebut seringkali kuat karena berhubungan erat dengan harapan untuk mendapatkan porsi kekuasaan dan keuangan dari kebijakan yang dibuat. Namun, apakah dukungan ini akan bertahan ketika tokoh politik tersebut kehilangan kekuasaan? Hal ini akan menjadi sorotan yang menarik untuk diamati pasca keluarnya Joko Widodo dari jabatan presiden pada tanggal 20 Oktober 2024 mendatang.
Joko Widodo, atau yang akrab disapa Jokowi, telah menjalani masa jabatannya dengan berbagai tantangan dan pencapaian. Dukungan politik yang dia terima selama ini tidak hanya berasal dari partai politik yang mendukungnya, seperti PDIP, tetapi juga dari masyarakat luas yang merespons program-programnya yang pro-rakyat. Namun, realitas politik seringkali tidak terlalu memihak kepada mantan pemimpin yang kehilangan kekuasaan.
Ketika Jokowi meninggalkan Istana dan fasilitas negara yang menyertainya, dia juga akan meninggalkan belenggu dan priviledge politik yang melekat padanya selama menjabat. Meskipun begitu, pandangan bahwa Jokowi tidak peduli dengan masa depannya mungkin terlalu menyederhanakan kompleksitas posisinya. Dia memiliki musuh politik yang signifikan, termasuk dalam jajaran partai politik yang sebelumnya mendukungnya.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yang merupakan partai politik yang membesarkan Jokowi dan memberinya platform untuk maju dalam politik nasional, dapat menjadi salah satu elemen penting dalam menganalisis nasib politiknya pasca-pensiun dari jabatan presiden. Hubungan politik di Indonesia sering kali didasarkan pada pertukaran kepentingan yang pragmatis, dan ketika kekuasaan berpindah tangan, loyalitas politik pun seringkali bergeser.
Perlu diingat bahwa hubungan antara tokoh politik dan partai politik tidak selalu bersifat abadi. Keberlangsungan dukungan terhadap mantan pemimpin seringkali tergantung pada sejauh mana pemimpin tersebut masih dianggap memiliki nilai politik dan popularitas yang dapat dijalankan oleh partai. Dalam konteks Jokowi, pengaruhnya terhadap kebijakan dan arah politik pemerintah selama masa jabatannya dapat mempengaruhi bagaimana dia dinilai dan dipersepsikan setelah kehilangan kekuasaan.
Menurut analisis, Jokowi mungkin menghadapi tantangan berat dari beberapa pihak politik yang sebelumnya mendukungnya. PDIP sebagai partai politik yang terkait erat dengan Jokowi, dengan segala kekuatannya sebagai basis politik utama, juga memiliki kepentingan dalam mempertahankan citra dan pengaruhnya dalam dinamika politik pasca-pemerintahan Jokowi.
Namun demikian, dampak Jokowi terhadap politik Indonesia tidak hanya terbatas pada dukungan partai politik semata. Kebijakan-kebijakan yang diterapkannya selama masa jabatannya telah meninggalkan jejak yang signifikan dalam sejarah politik dan ekonomi Indonesia. Pengaruhnya terhadap pembangunan infrastruktur, reformasi birokrasi, dan upaya dalam menghadapi tantangan global seperti pandemi COVID-19 akan tetap menjadi bagian dari penilaian terhadap kinerja dan warisan politiknya.
Dengan demikian, sementara masa depan politik Jokowi pasca-kehilangan kekuasaan masih harus dipertimbangkan secara cermat, penting untuk mengakui bahwa dinamika politik dan kekuatan partai seringkali menjadi penentu utama dalam perkembangan politik setelah seseorang meninggalkan jabatan publik tertinggi. Masa depan Jokowi dan dukungan yang dia terima akan menjadi cerminan dari sejauh mana warisan politiknya dapat bertahan dalam perjalanan politik Indonesia yang dinamis dan berubah.