Oleh : Bawono Kumoro | Associate Researcher di Indikator Politik Indonesia
Jakarta – Dalam beberapa bulan terakhir dunia dikejutkan dengan krisis ekonomi di Sri Lanka. Pemerintah Sri Lanka mengumumkan gagal untuk membayar utang senilai US$ 51 miliar berasal dari pinjaman luar negeri. Selain itu, pemerintah Sri Lanka juga mengumumkan bangkrut karena kas negara untuk membeli bahan bakar, listrik, dan juga bahan pangan tidak lagi tersedia.
Bahkan, pemerintah Sri Lanka meminta warga di luar negeri untuk mengirimkan uang demi membantu warga di dalam negeri dalam membeli kebutuhan pokok dan bahan bakar. Krisis hebat ini membuat Presiden Sri Lanka Rajapaksa pergi meninggalkan negara tersebut untuk melakukan pelarian luar negeri. Kondisi ini menjadi situasi terburuk dialami Sri Lanka sejak kemerdekaan mereka pada tahun 1948.
Selain nilai utang luar negeri tinggi, hal lain juga berkontribusi terhadap kebangkrutan Sri Lanka antara lain karena kehilangan pendapatan dari sektor pariwisata akibat pandemi COVID-19 selama hampir tiga tahun, dan juga peningkatan harga komoditas sebagai dampak perang Rusia dan Ukraina.
Krisis hebat yang dialami Sri Lanka tersebut memunculkan analisis sejumlah pihak dengan mengatakan kondisi perekonomian Indonesia saat ini yang juga memiliki jumlah utang luar negeri tinggi akan membuat negara ini juga mengalami krisis seperti terjadi di Sri Lanka.
Merujuk data Kementerian Keuangan hingga 31 Mei 2022 posisi utang mencapai Rp 7.002,24 triliun, dengan rasio utang terhadap produk domestik bruto sebesar 38,88 persen. Realisasi utang itu naik 9,1 persen dibandingkan realisasi posisi utang utang pada Mei 2021 sebesar Rp 6.418,5 triliun. Inilah pangkal kemunculan dari analisis perbandingan kondisi Indonesia saat ini dengan krisis tengah dialami oleh Sri Lanka.
Sebagai sebuah analisis tentu saja itu sah untuk dilontarkan oleh siapa pun. Namun, apakah krisis Sri Lanka akan juga dialami oleh Indonesia karena semata-mata didasarkan pada kondisi nilai utang luar negeri Indonesia saat ini? Untuk itu perlu dilakukan telaah lebih jauh agar analisis semacam itu dapat disikapi secara proporsional.
Pertama, harus dilihat bagaimana kondisi pertumbuhan ekonomi sebuah negara untuk menilai apakah negara tersebut akan gagal dalam utang luar negeri atau tidak. Selama negara tersebut masih memiliki pertumbuhan ekonomi positif dan utang luar negeri terus diusahakan turun, maka besar kemungkinan negara itu akan mampu bertahan lolos dari jeratan utang dan ketidakpastian ekonomi di masa depan.
Bagaimana kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini? Apabila merujuk data terbaru Badan Pusat Statistik pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I tahun 2022 sebesar 5,1 persen. Pertumbuhan pada kuartal I tahun 2022 sebesar 5,1 persen tersebut menegaskan tren tumbuh di atas lima persen selama tiga kuartal beruntun. Itu berarti pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah kembali pada jalur semula seperti sebelum dihantam pandemi COVID-19.
Kedua, bagaimana dengan kondisi utang Indonesia? Merujuk data Kementerian Keuangan Republik Indonesia hingga 31 Mei 2022 posisi utang mencapai Rp 7.002,24 triliun, dengan rasio utang terhadap produk domestik bruto sebesar 38,88 persen. Realisasi utang itu naik 9,1 persen dibandingkan realisasi posisi utang pada Mei 2021 sebesar Rp 6.418,5 triliun. Adapun bila dibandingkan dengan posisi utang pada April 2022 turun 0,54 persen; saat itu mencapai Rp 7.040,32 triliun.
Posisi rasio utang terhadap produk domestik bruto sebesar 38,88 persen merupakan angka cukup aman. Rasio utang terhadap produk domestik bruto di bawah 60 persen merupakan ambang batas aman utang sebuah negara. Kondisi tersebut juga jauh apabila dibandingkan dengan Sri Lanka; rasio utang terhadap produk domestik bruto mencapai lebih dari 100 persen.
Selain itu, harus dipahami juga sebagian besar utang Indonesia berupa surat berharga negara berdenominasi rupiah. Merujuk data Kementerian Keuangan, komposisi utang hingga 31 Mei 2022 berasal dari penarikan Surat Berharga Negara sebesar Rp 6.175,83 triliun atau mencapai 88,20 persen. Dalam bentuk rupiah domestik sebesar Rp 4.934,56 triliun; berasal dari penerbitan Surat Utang Negara sebesar Rp 4.055,03 triliun dan Surat Berharga Syariah Negara Rp 879,53 triliun. Hal ini sangat berbeda dengan Sri Lanka terlilit utang valuta asing dalam jumlah besar dengan sebagian besar adalah utang luar negeri.
Sementara itu, komposisi utang Indonesia berasal dari pinjaman senilai Rp 826,41 triliun atau mencapai 11,8 persen. Ini terdiri dari pinjaman dalam negeri sebesar Rp 14,74 triliun dan utang berasal pinjaman luar negeri sebesar Rp 811,67 triliun. Adapun utang luar negeri terdiri dari pinjaman bilateral Rp 280,32 triliun, pinjaman multilateral Rp 488,62 triliun, commercial banks Rp 42,72 triliun. Jadi, komposisi pinjaman luar negeri didominasi oleh pinjaman multilateral. Kondisi ini jauh berbeda dengan Sri Lanka yang hampir semua utang negara tersebut berasa dalam skema bilateral.
Memang persoalan utang sangat seksi untuk dijadikan isu komoditas politik. Hal itu lantaran sebagai besar dari kita sekadar peduli pada besar jumlah utang, tidak hingga meneliti lebih jauh komposisi utang tersebut terdiri dari apa saja, untuk apa utang itu, dan apakah aman atau tidak secara rasio terhadap produk domestik bruto.
Dengan melihat data-data pertumbuhan ekonomi dan utang, memperlihatkan Indonesia tengah berada dalam kondisi jauh dari jurang resesi ekonomi. Dengan realitas kondisi perekonomian tersebut, tidak berlebihan apabila Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan memberikan label “sakit jiwa” kepada pihak-pihak yang mengatakan krisis Sri Lanka dapat terjadi di Indonesia.
Dikutip detik.com Rabu, 03 Agustus 2022