Sempat viral di sosial media mengenai DALY rates atau Disability Adjusted Life Years yang menyebut bahwa jumlah pasien skizofrenia di Indonesia yang menduduki peringkat nomor satu sedunia. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, diperkirakan sekitar 450 ribu masyarakat Indonesia merupakan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) berat. Prevalensi (permil) rumah tangga dengan ART gangguan jiwa skizofrenia/psikosis lebih banyak terjadi di perdesaan daripada di perkotaan.
Menurut dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ, untuk mengukur banyaknya penduduk yang mengalami skizofrenia melalui prevalensi. Berdasarkan Riskesdas 2018, prevalensi skizofrenia di Indonesia sebanyak 6,7 per 1.000 rumah tangga. Prevalensi ini berbeda dengan angka DALY, berapa banyak tahun yang hilang dari suatu penyakit tertentu. Karena skizofrenia adalah penyakit berjangka panjang, DALY skizofrenia di Indonesia memang besar.
Apa itu skizofrenia?
Skizofrenia adalah penyakit gangguan jiwa berat yang membuat penderitanya kehilangan kontak dengan kenyataan dan kesulitan membedakan mana hal yang nyata dan yang tidak. Hingga saat ini penyebab dari skizofrenia sulit untuk diketahui. Skizofrenia merupakan salah satu penyakit yang paling disalahpahami dan sering diberi stigma. Dalam dunia media, skizofrenia dapat dianggap sebagai sindrom, yang berarti dapat terjadi karena beberapa gangguan yang berhubungan dengan gejala serupa, tetapi penyebab yang berbeda.
Mengutip TedEd, episode psikotik pertama yang terjadi dapat berupa delusi, halusinasi, dan perkataan dan perilaku yang tidak teratur. Miskonsepsi yang sering terjadi adalah orang beranggapan bahwa penderita skizofrenia memiliki beberapa kepribadian. Namun, sebenarnya gejala yang terlihat adalah efek dari terganggunya pola pikiran, dan bukan munculnya kepribadian baru.
Stigma skizofrenia di Indonesia
Di Indonesia, kerap kali masyarakat dan anggota keluarga memberi stigma buruk terhadap penderita skizofrenia karena kurangnya edukasi mengenai kesehatan mental. Menurut International Journal of Mental Health Systems, pasien dengan gangguan kejiwaan sering didiskriminasi. Dalam studi tersebut, masyarakat sering beranggapan bahwa pasien dengan gangguan jiwa adalah orang yang berbahaya. Hal senada juga diungkap oleh dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ dan dr. Dharmawan Ardi Purnama, Sp.KJ. Merka juga setuju bahwa tingginya angka DALY dan Prevalensi dapat dikarenakan kurangnya fasilitas kesehatan jiwa dan masih banyaknya stigma tentang penyakit jiwa di Indonesia. Bahkan, pasien gangguan jiwa justru sering menjadi korban dari suatu kekerasan dan mengalami trauma.
“Memang bisa pasien menjadi agresif, tapi lebih banyak lagi pasien yang jadi korban kekerasan dan mengalami trauma,” ujar Dharmawan. Diskriminasi terhadap penderita dapat berupa perkataan atau label, seperti “orang gila”, “orang sakit jiwa”, dan dapat juga berupa perilaku seperti diperlakukan dengan tidak adil, ditelantarkan, dikucilkan, diikat, hingga dipukul. Tindakan yang dilakukan di beberapa rumah tangga dengan pasien skizofrenia sebanyak 31 persen berupa pasung dan tidak ditangani dengan tenaga kesehatan profesional (Riskesdas, 2018).
Stigma harus dihilangkan dan peran keluarga
Dharmawan mengatakan, keluarga memiliki peran besar untuk mencarikan anggota keluarga skizofrenia bantuan karena pasien tidak dapat mempertanggungjawabkan tindakannya. Dharmawan juga menekankan apabila tidak segera ditangani, pasien dapat mengalami perburukan sehingga semakin tidak dapat dipulihkan. “Jika sudah perburukan, akan timbul gejala sisa. Gejala sisa yang paling sulit diatasi yaitu gejala negatif, seperti menarik diri, susah berpikir, ekspresi afektif menumpul sampai datar, sehingga pasiennya seperti orang yang tidak punya gairah dan tujuan, hingga bunuh diri” ujar Dharmawan.
“Stigma yang masih tinggi, edukasi rendah, dan masih menganggap skizofrenia tidak bisa diobati atau hanya dikira guna-guna magic masih tinggi juga,” ucap dr. Dharmawan Stigma yang beredar di masyarakat tentang skizofrenia dapat menghalangi penderita untuk mencari bantuan. Pasien merasa malu apabila mengaku ada yang salah dari dirinya. Stigma juga dapat membuat keluarga dan lingkungan sekitar menjadi tidak suportif. Akibatnya, pasien tidak memiliki dukungan sosial dan menyulitkan proses pengobatan.
Apabila stigma dan prasangka akan skizofrenia terus berlanjut, banyak penderita yang tidak terdiagnosis dan tidak terobati. Jika tidak segera mendapat bantuan, skizofrenia dapat berakibat fatal seperti bunuh diri. “Saya percaya isu kesehatan mental ditangani secara sistemik, mulai dari rumah tangga hingga lembaga pengambil keputusan, seperti legislatif maupun eksekutif,” kata Jiemi.
“Akan baik juga bila kita bisa memulai di sekolah, misalnya kurikulum atau kampanye anti perundungan, sistem pencegahan perundungan, atau pengenalan terhadap bentuk tubuh yang beragam, sehingga tidak terjebak pada diet-diet yang bermasalah yang memunculkan eating disorder, dan lain sebagainya,” sambungnya. Indonesia perlu mengedukasi masyarakat akan skizofrenia dan gangguan kejiwaan lainnya dan menyediakan layanan jiwa yang memadai dan tersedia untuk semua orang.