Tokyo – Jepang sering dikenal dengan etiket dan kesopanan warganya, tetapi hal ini tidak selalu berlaku bagi para pelanggan dalam industri jasa. Para pekerja layanan, yang kerap dianggap “dewa” oleh perusahaan yang melayani mereka, kini menghadapi peningkatan permintaan tidak masuk akal yang membedakan antara keluhan sah dan pelecehan.
Namun, karena pelecehan konsumen belum didefinisikan dalam undang-undang Jepang, sulit bagi banyak perusahaan untuk menetapkan batas antara keluhan yang sah dan tindakan pelecehan. Akibatnya, banyak kasus terjadi di mana pelanggan menggunakan bahasa kasar, mengancam, atau membuat tuntutan berlebihan yang dianggap sebagai pelecehan terhadap pekerja.
Beberapa pekerja bahkan melaporkan insiden di mana pelanggan meminta mereka melakukan dogeza – berlutut dengan dahi menyentuh lantai sebagai tanda penyesalan. Meskipun tidak lagi umum, praktik ini di masa lalu digunakan untuk menunjukkan penghormatan dalam sistem feodal Jepang.
Pelecehan pelanggan yang semakin meningkat ini kerap diabaikan karena sulitnya membuktikan klaim tersebut. Banyak pekerja yang tertekan secara mental atau fisik, hingga beberapa di antaranya berhenti bekerja atau mengalami gangguan mental. Dalam beberapa kasus ekstrem, pelecehan ini bahkan menyebabkan kematian akibat bunuh diri.
Langkah Tegas Perusahaan untuk Mengatasi Pelecehan
Kini, sejumlah perusahaan besar di Jepang mulai mengambil langkah tegas. Salah satunya adalah jaringan supermarket Ito-Yokado Co, yang baru-baru ini memperkenalkan panduan untuk menghadapi pelanggan sulit, serta seminar internal untuk membantu pekerja mengatasi situasi pelecehan, seperti “melaporkan perilaku kasar ke polisi” atau menangani pelanggan di area yang terpantau kamera.
Takashimaya, toko serba ada pertama di Jepang yang menerbitkan kebijakan anti-pelecehan di situs webnya pada Juli lalu, kini juga telah menetapkan beberapa kriteria untuk mendefinisikan pelecehan pelanggan. Tindakan ini memungkinkan perusahaan untuk meminta pelanggan yang melanggar aturan untuk meninggalkan toko.
Namun, beberapa perusahaan di industri makanan tetap ragu mengambil tindakan karena khawatir akan dampak negatif dan kesulitan mendapatkan umpan balik dari pelanggan.
Regulasi dan Kebijakan Pemerintah
Bulan lalu, Dewan Metropolitan Tokyo mengesahkan peraturan yang melarang pelecehan konsumen terhadap pekerja. Peraturan yang akan berlaku pada April 2025 ini mencakup tanggung jawab pelanggan saat berkunjung ke toko, meski tidak ada sanksi bagi pelanggar. Peraturan ini merupakan langkah awal penting bagi pemerintah untuk melindungi pekerja dari pelecehan.
Sementara itu, asosiasi pekerja dan ahli seperti Kaname Murasaki dari Japan Harassment Association menekankan pentingnya perusahaan untuk mengatasi masalah ini, terutama dalam konteks kekurangan tenaga kerja. Pelecehan pelanggan yang semakin parah dinilai menjadi salah satu penyebab tingginya tingkat pergantian karyawan di industri layanan, sehingga mengurangi daya tarik perusahaan di mata para pekerja.
Menurut survei oleh serikat pekerja nasional Jepang, Rengo, hampir 40% pekerja yang mengalami pelecehan pelanggan merasa tertekan saat harus pergi bekerja, sementara lebih dari 10% memilih berhenti atau pindah kerja akibat pengalaman tersebut.
Peran Kesadaran Bersama untuk Mencegah Pelecehan
Kyoko Shimada dari Customer Harassment Association, Prevention and Support, menekankan pentingnya kesadaran bersama antara konsumen dan pekerja tentang pelecehan pelanggan. Sebanyak 80 perusahaan yang menyediakan layanan di bandara telah bekerja sama untuk menyusun langkah-langkah pencegahan terhadap pelecehan pelanggan, menunjukkan bahwa tindakan bersama dalam industri ini bisa berdampak signifikan.
Meskipun langkah-langkah ini terus berkembang, sikap perusahaan dalam menangani pelecehan masih menjadi sorotan. Seorang pekerja paruh waktu mengingatkan bahwa perusahaan yang mempertahankan budaya “pelanggan adalah dewa” akan menghadapi tantangan besar dalam bersikap tegas terhadap pelanggan.
Kyodo