Kementerian Perdagangan mengeluarkan banyak aturan untuk menstabilkan harga minyak goreng dalam dua bulan terakhir. Namun aturan itu dianggap kurang memberikan implikasi yang efektif.
Namun, Anggota DPR RI Komisi VI Mufti Anam melihat banyaknya aturan yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan belum memberikan implikasi positif terhadap harga minyak goreng mulai dari ketentuan Harga Eceran Tertinggi (HET), Domestic Market Obligation (DMO) dan lainnya. Sehingga carut marut industri ini tidak selesai.
“Kami lihat Kemendag ini seperti macan ompong bukan hanya di mata rakyat tapi produsen minyak goreng juga. Kalau kita lihat ada 6 Permendag dikeluarkan tapi tidak ada memberi implikasi positif,” katanya, dalam Rapat Kerja bersama Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, Kamis (18/3/2022).
Bahkan dari beberapa anggota rapat juga melihat kebijakannya dianggap kerap berubah-ubah. Di Akhir rapat Lutfi menjawab, tudingan itu. Lutfi menegaskan bahwa kebijakan ini disesuaikan dengan perkembangan harga minyak sawit mentah di pasar global.
Mantan Duta Besar AS untuk Indonesia menjelaskan pemerintah memang sudah mempunyai rencana untuk menstabilkan dan menjaga pasokan minyak goreng dalam negeri. Namun harga komoditas bergerak sangat liar.
“Ketika pertama kali dikeluarkan 11 Januari (2022) harga di FOB (freight on board) Belawan per kilogram sudah jadi Rp 14.600, dengan harga segitu kita subsidi berdasarkan BPDPKS dengan nilai Rp 7,5 triliun untuk 6 bulan ke depan,” jelasnya.
“Tapi harga pada tanggal 12 Januari di FOB Belawan naik menjadi Rp 15.200 kemudian naik lagi Rp 15.600 pada tanggal 13 Januari. Saat tanggal 14 Januari sudah naik jadi 1.000. karena naik tinggi maka BPDPKS tidak sustain dan berkesinambungan, karena loncat dari Rp 15 triliun menjadi Rp 20 – 22 triliun per tahun, jadi uang tidak ada,” tambahnya.
Saat itu rencana pemerintah adalah ketika harga minyak sawit mentah di FOB belawan sudah mencapai Rp 15.000, rencana yang diambil adalah memakai Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp 14.000 dengan subsidi BPDPKS. Lantas ketika harga sudah melonjak diatas Rp 15 ribu menggunakan skema DMO dan DPO.
“Setelah harga menyentuh Rp 17 ribu maka harus merancang rencana lain. kita putuskan memastikan ketersediaan ini harus ada,” kata Lutfi.
Hingga akhirnya pemerintah kini memutuskan untuk menarik skema DMO/DPO dan menyerahkan harga minyak goreng kepada mekanisme pasar. Namun di satu sisi pengusaha yang ekspor kini disusahkan dengan pungutan atau levy yang lebih tinggi dari sebelumnya.
“Jadi tidak lagi flat ini progresif, jadi liner ke atas, ketika mau diekspor akan dipotong. Jadi tiap harga (CPO) naik US$ 50 perlu membayar lebih US$ 20,” kata Lutfi.