Oleh: Karyudi Sutajah Putra
Jakarta, Fusilatnews – Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba Airlangga Hartarto menyatakan mundur dari jabatan Ketua Umum Partai Golkar, Sabtu (10/8/2024) malam. Hal itu dilakukan setelah sebelumnya Menteri Koordinator Perekonomian itu bertemu empat mata dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Jumat (9/8/2024).
Menanggapi pengunduran diri Airlangga itu, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar melalui salah satu ketuanya, Meutya Hafidz menyatakan, DPP Golkar menghargai langkah Airlangga yang mundur dari jabatan ketum. Namun, keputusan akhir akan dibahas dalam rapat pleno DPP dalam waktu dekat. Airlangga, kata Meutya, saat ini secara “de jure” (aturan) bukan Ketum Golkar lagi, tapi secara “de facto” (fakta) masih menjabat.
Menanggapi hal itu, Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus SH berpendapat, sebagai partai politik besar, kuat dan modern, Golkar tidak boleh menjadi alat permainan kekuasaan yang bersifat pragmatis oleh siapa pun, termasuk pihak eksternal, yaitu Presiden Jokowi sekalipun.
“Karena itu, meskipun Airlangga sudah mengajukan permintaan pengunduran diri secara tertulis kepada DPP dan sudah membacakannya, DPP memiliki wewenang untuk ‘mengabulkan atau menolak’ permintaan pengunduran diri dimaksud,” kata Petrus Selestinus di Jakarta, Senin (12/8/2024).
DPP Golkar, kata Petrus, harus bermanuver untuk mencegah dan menangkal setiap manuver politik yang bersifat mengintervensi persoalan internalnya atas nama apa pun, termasuk atas nama penegakan hukum, apalagi bernuansa politisasi hukum. “Intervensi dari pihak eksternal itu harus dilawan,” imbaunya.
Cekal Intervensi
Oleh sebab itu, kata Petrus, permohonan pengunduran diri Airlangga dari jabatan Ketum Golkar harus dicegah dan ditangkal (cekal), karena terdapat gejala yang tidak normal, memperlihatkan ada “invisible hand” (tangan tak kelihatan) yang tengah bermain.
“Apa pun kesalahan Airlangga, selesaikan sesuai mekanisme hukum di internal, yaitu via Mahkamah Partai, bukan atas dasar desakan kekuasaan mengatasnamakan penegakan hukum untuk menguasai partai politik,” pintanya.
DPP Golkar, kata Petrus, harus tetap mempertahankan irama pergantian ketua umumnya sesuai mekanisme Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), apalagi masa bakti Airlangga baru akan berakhir pada Munas (Musyawarah Nasional) yang akan datang yaitu Desember 2024.
“Jika terdapat dorongan atas dasar kepentingan pihak ketiga, sehingga Golkar harus mengadakan Munaslub, maka akan terlihat seolah-olah partai ini berada dalam keadaan terancam atau kegentingan yang memaksa, sehingga diperlukan langkah penyelamatan melalui Munaslub, dan inilah yang merugikan Golkar dan pemerintahan yang akan datang,” cetusnya.
Wewenang Mahkamah Partai
Menurut Petrus, jika saja Airlangga diduga telah melakukan pelangaran AD/ART sehingga memilih jalan mengundurkan diri, maka sebelum rapat pleno memutuskan pemberhentian Airlangga dari jabatan ketua umum, terlebih dahulu DPP menempuh proses melalui Mahkamah Partai sebagai lembaga yudikatif internal yang diamanatkan UU Parpol dan AD/ART Golkar untuk membuktikan apakah Airlangga melanggar AD/ART atau tidak.
“Dengan cara seperti itu, DPP Golkar dapat meminimalisir intervensi politik dari pihak eksternal mana pun, termasuk dari Presiden Jokowi, yang disebut-sebut memiliki keinginan dan agenda untuk melengserkan Airlangga, sehingga Golkar dengan mudah diintervensi bahkan diambil alih,” tukasnya.
Dalam keadaan demikian, lanjut Petrus, maka Golkar harus mengedepankan sikap menegakkan kedaulatan, marwah dan hukum dasar Golkar, yaitu AD/ART.
“Perkokoh kedaulatan partai yang bertumpu pada keputusan Munas atau Munaslub yang tunduk pada AD/ART Golkar,” sarannya.
Dugaan Kriminalisasi
Saat ini, kata Petrus, muncul suara-suara yang meyatakan bahwa kasus dugaan korupsi izin ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan turunannya periode 2021-2022, konon masih diusut penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung). Penyidik, katanya, akan kembali menetapkan status tersangka, dalam hal ini Airlangga Hartarto.
“Jika seknario ini berjalan maka desas-desus bahwa Airlangga selama ini menjadi korban kriminalisasi melalui politisasi hukum, terbukti benar adanya. Apalagi Kejaksaan Agung ketika dikonfirmasi wartawan soal kemungkinan dibukanya pemeriksaan terhadap Airlangga terkait kasus ini menyatakan akan diinfokan,” kata Petrus mengutip pernyataan Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar kepada media, Minggu (11/8/2024).
“Jika Kejagung akhirnya memanggil Airlangga, menjadikannya tersangka bahkan melakukan penahanan, maka ini benar-benar praktik korupsi kekuasaan dengan cara penyalahgunaan wewenang, berupa bertindak sewenang-wenang, mencampuradukkan wewenang atau melampaui wewenang,” lanjutnya.
Kondisi seperti ini, tegas Petrus, tak bisa dibiarkan partai politik, termasuk Golkar. “Jangan biarkan kekuasaan bergerak tanpa rambu kekuasaan atau memghalalkan segala cara, sehingga harus dilakukan perlawanan secara hukum dan politik dengan cara-cara progresif, tidak bisa dengan cara-cara biasa, karena kekuasaan sudah terlanjur bergerak terlalu jauh ke dasar yang paling dalam daya rusaknya,” tandas Petrus yang juga Koordinator Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara.