Damai Hari Lubis-Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212
Terkait pernyataan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie tentang upaya Ganjar untuk mendorong DPR RI menggunakan hak angket terhadap dugaan kecurangan dalam Pemilu Pilpres 2024, ia menyatakan bahwa hal tersebut hanyalah “sekedar gertak sambal”. Jimly menyebutkan alasan terkait waktu dan prosedur pelaksanaan persidangan hak angket serta tindak lanjut dari penggunaan hak angket. Dia juga menyatakan bahwa jika ada kecurangan, maka semua paslon 01, 02, dan 03 juga harus terlibat dalam proses tersebut.
Pendapat dan argumen hukum yang disampaikan oleh Jimly ini sangat disayangkan. Selain tidak sesuai dengan situasi saat ini, karakter seorang hakim yang profesional, khususnya sebagai anggota MKMK, seharusnya tidak menunjukkan keberpihakan atau merendahkan hak dan hak asasi manusia seorang Capres, hak partai, maupun hak setiap anggota legislatif DPR RI yang dijamin oleh konstitusi untuk menggunakan Hak Angket. Hak angket dapat dilaksanakan kapan pun sesuai kebutuhan, tanpa ada batasan waktu yang diatur dalam penggunaan hak angket atau interpelasi oleh anggota DPR RI.
Publik masih mengingat dengan jelas putusan MKMK Nomor 02/MKMK/L/11/2023 yang menghasilkan pemecatan Anwar Usman dari jabatan Ketua dan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan ini dikeluarkan setelah proses persidangan yang digelar di Ruang Sidang Pleno Gedung I MK pada Selasa (7/11/2023), yang menegaskan bahwa Anwar Usman melanggar etika yang diperlukan dari seorang hakim MK.
Tidak hanya itu, putusan MKMK lainnya yang patut diperhatikan adalah dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Putusan tersebut terkait dengan etika penyelenggaraan pemilu dan melibatkan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Ashari, beserta anggota komisioner lainnya. Putusan Nomor 135-PKE-DKPP/XII/2023, Nomor 136-PKE-DKPP/XI/2023, Nomor 137-PKE-DKPP/XII/2023, dan Nomor 141-PKE-DKPP/XII/2023 menyatakan bahwa mereka melanggar etika karena terkait dengan pencalonan Gibran yang cacat dan melanggar Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).
Sebagai hasil dari putusan hukum yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), secara juridis formal, MK memiliki kewajiban untuk mengulang kembali persidangan terkait dengan materi objek perkara yang berkaitan dengan batasan usia pencalonan Gibran yang belum mencapai usia 40 tahun. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Sebagai akibat dari permasalahan hukum yang melibatkan pencalonan Gibran RR, pencapresan pasangan 02 dipenuhi dengan berbagai pelanggaran hukum. Oleh karena itu, berdasarkan putusan MKMK dan DKPP, Gibran RR tidak memenuhi syarat hukum yang berkualitas untuk menjadi peserta dalam pemilihan umum pilpres, sesuai dengan sistem konstitusi yang berlaku sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum.
Dengan demikian, pasangan pilpres 02 seharusnya dinyatakan “BATAL DEMI HUKUM”, bukan diakui sebagai pemenang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, terlepas dari jumlah suara yang diperoleh oleh pasangan tersebut, baik melalui proses yang sah maupun melalui proses kecurangan. Oleh karena itu, wajar jika KPU menyatakan bahwa pasangan pilpres 02 diskualifikasi sebagai peserta dalam pemilihan umum pilpres pada pemilu 2024 berdasarkan hukum yang berlaku.
Namun, kedua putusan a quo tersebut ternyata tidak memiliki arti hukum yang signifikan atau bahkan diabaikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemilihan umum Pilpres 2024.
Hal yang lebih penting terkait dengan indikasi kuat terhadap pembatalan secara hukum atas pasangan 02 ini, tidak diperhatikan oleh Jimly. Terbukti bahwa Jimly sama sekali tidak mengeluarkan pernyataan hukum, seperti kata “penyesalan”, kepada MK dan KPU RI. Hal ini menunjukkan bahwa Jimly tidak mengindahkan eksistensi isi putusan hukum yang ada dan seharusnya dihormati serta diterapkan.
Jimly justru sibuk mengomentari hak konstitusi yang jelas dimiliki oleh para anggota legislatif (DPR RI), yang diamanahkan oleh sistem hukum. Namun, Jimly tampaknya berusaha untuk mencegah penggunaan hak konstitusi yang hendak atau akan digunakan oleh pemegang hak, yaitu Ganjar Pranowo, Calon Presiden dari pasangan Nomor 03, yang berupaya menggalang dukungan dari sesama anggota Partai PDIP dan bahkan dari anggota PPP serta koalisi 01 lainnya di DPR RI.
Dengan tujuan politiknya, Ganjar Pranowo berjuang untuk mendorong penggunaan hak angket atas temuan banyaknya kecurangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam Pilpres 2024. Jimly terlihat lebih tertarik dalam menyoroti upaya Ganjar Pranowo dan meragukan keabsahan hak konstitusionalnya, daripada menunjukkan kepedulian terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tersebut.
Maka, nalar hukum yang ditunjukkan secara publik oleh Jimly menunjukkan bentuk implementasi logika yang sangat keliru dan tidak proporsional. Pernyataannya mencerminkan sebuah penyelewengan intelektual hukum, yang seharusnya tidak terjadi dari seorang tokoh bangsa dan pakar hukum sekelas dirinya. Ternyata, fatalitas dari sudut pandang objektivitas dan nilai rendah dari perspektif tersebut sangat miris, terutama untuk seorang ilmuwan yang seharusnya mengedepankan kebenaran dan keadilan.