Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo, kembali membuat kontroversi. Kali ini, ia mengenakan rompi bertuliskan “Putra Mulyono” dalam sebuah kunjungan ke Kabupaten Tangerang, Banten. Nama “Mulyono” yang merujuk pada nama asli Jokowi sebelum diganti, telah menjadi sorotan di media sosial, terutama di Twitter (sekarang dikenal sebagai X). Namun, apa yang mungkin dianggap sebagian orang sebagai langkah simpatik justru dipandang sebagai arogansi oleh publik yang marah.
Publik membaca rompi tersebut sebagai bentuk perlawanan Kaesang terhadap gelombang sentimen negatif yang berkembang di media sosial terhadap keluarganya, terutama terkait dengan ayahnya, Jokowi. “Mulyono” menjadi semacam ekspresi kekecewaan dan kemarahan publik terhadap pemerintahan Jokowi, sehingga tindakan Kaesang memakai atribut tersebut bisa dibaca sebagai tantangan terbuka terhadap kemarahan rakyat.
Mulyono: Dari Nama Lama Menjadi Simbol Amarah
Nama Mulyono sejatinya adalah nama lahir Presiden Jokowi, yang diberikan oleh orangtuanya sebelum diganti menjadi Joko Widodo. Namun, dalam beberapa waktu terakhir, nama ini kembali mencuat bukan dalam konteks sejarah pribadi, melainkan sebagai simbol bagi kelompok netizen yang merasa tidak puas dengan pemerintahan Jokowi. Nama Mulyono kerap muncul di berbagai unggahan sebagai ekspresi kritik, bahkan kemarahan, terhadap kebijakan-kebijakan Jokowi yang dianggap tidak memihak rakyat.
Dengan viralnya nama Mulyono sebagai simbol kemarahan, keputusan Kaesang untuk mengenakan rompi bertuliskan “Putra Mulyono” bukanlah hal sepele. Itu seperti pernyataan simbolik yang menunjukkan bahwa Kaesang sadar akan kritik yang diarahkan pada keluarganya, namun memilih untuk tidak menghindar. Sebaliknya, ia menampilkan kebanggaan sebagai putra Jokowi dengan cara yang provokatif.
Kaesang: Simbol Arogansi Anak Penguasa?
Rompi “Putra Mulyono” yang dikenakan Kaesang bisa dilihat sebagai bentuk arogansi seorang anak presiden yang tampaknya tidak peduli dengan gelombang kritik dan protes yang diarahkan pada keluarganya. Publik mungkin berharap Kaesang bersikap lebih bijak, terutama di tengah-tengah semakin kuatnya sentimen negatif terhadap pemerintahan ayahnya. Namun, sebaliknya, Kaesang justru memilih untuk menonjolkan identitasnya sebagai anak Jokowi dengan cara yang dapat memicu kontroversi lebih lanjut.
Ketika seorang figur publik, terutama yang memiliki hubungan langsung dengan kekuasaan, secara terang-terangan menggunakan simbol-simbol yang telah menjadi bagian dari kritik publik, ini bisa diartikan sebagai pengabaian terhadap suara rakyat. Kaesang seolah menunjukkan bahwa ia tidak terpengaruh oleh cercaan atau kemarahan netizen. Hal ini tentu saja bisa menambah sentimen negatif dan memposisikannya sebagai sosok yang arogan, seakan tidak memperdulikan aspirasi masyarakat yang kecewa terhadap kebijakan ayahnya.
Strategi Kaesang atau Cerminan Kesenjangan Sosial?
Di sisi lain, langkah Kaesang juga bisa dilihat sebagai bentuk strategi politik yang cerdik. Dengan mengenakan rompi “Putra Mulyono” saat kunjungan ke rumah warga miskin di Kabupaten Tangerang, ia mungkin mencoba mengubah narasi seputar dirinya dan keluarganya. Kaesang mengunjungi rumah janda dua anak yang hidup dalam kondisi memprihatinkan, menawarkan bantuan perbaikan rumah sebagai upaya memperbaiki kesenjangan sosial. Langkah ini mungkin ingin menunjukkan bahwa meski ia adalah bagian dari keluarga penguasa, ia tidak menutup mata terhadap kesulitan rakyat kecil.
Namun, pesan sosial yang ingin disampaikan ini bisa tersamarkan oleh simbol rompi yang ia kenakan. Alih-alih dipandang sebagai pemuda yang peduli dengan rakyat, penggunaan atribut “Putra Mulyono” malah memperkuat citra dirinya sebagai bagian dari kekuasaan yang arogan. Alih-alih menenangkan amarah publik, rompi tersebut justru bisa dianggap sebagai bentuk provokasi terhadap mereka yang merasa dirugikan oleh kebijakan ayahnya.
Melawan Amuk Publik
Tindakan Kaesang mengenakan rompi “Putra Mulyono” di tengah kemarahan publik ini adalah langkah yang berisiko tinggi. Publik saat ini sedang dalam kondisi yang rentan, dengan banyaknya isu ketidakpuasan terkait pemerintahan Jokowi—mulai dari masalah ekonomi, sosial, hingga politik. Amarah publik bukan hanya tentang nama, tetapi juga ketidakpuasan yang lebih mendalam terhadap keadaan negara di bawah kepemimpinan Jokowi.
Kaesang tampaknya memilih untuk menghadapi amarah ini dengan penuh percaya diri. Tetapi, jika langkah ini tidak diimbangi dengan kebijakan konkret yang benar-benar berpihak pada rakyat, maka ia berisiko memicu reaksi yang lebih besar. Melawan amuk publik dengan simbol-simbol yang provokatif hanya akan memperburuk situasi jika tidak dibarengi dengan tindakan nyata yang menunjukkan empati dan perhatian pada rakyat kecil.
Arogansi atau Pembuktian?
Pada akhirnya, langkah Kaesang menggunakan rompi “Putra Mulyono” bisa dibaca dengan dua cara. Di satu sisi, ia mungkin hanya ingin menunjukkan kebanggaannya sebagai putra Jokowi, meski di tengah gelombang kritik dan sentimen negatif. Di sisi lain, ia juga bisa dianggap sebagai sosok arogan yang tidak memahami atau bahkan mengabaikan suara rakyat yang merasa dirugikan oleh kebijakan ayahnya.
Apapun niat di balik tindakan tersebut, satu hal yang jelas: Kaesang sedang berada di persimpangan jalan antara citra positif sebagai pemuda yang peduli dengan rakyat dan citra negatif sebagai anak penguasa yang arogan. Bagaimana ia melanjutkan langkah-langkahnya di masa depan akan menentukan arah opini publik terhadap dirinya dan keluarganya.