Oleh: Karyudi Sutajah Putra
Jakarta, Fusilatnews – Fenomenal. Sebuah karya instalasi berupa sebuah pisang yang ditempel dengan lakban bertajuk “Comedian” yang dibuat seniman asal Italia, Maurizio Cattelan terjual di balai lelang Sotheby’s, New York, Amerika Serikat, pekan lalu, seharga US$6,2 juta atau setara Rp99,5 miliar.
Pengusaha kripto Justin Sun menjadi satu di antara tujuh penawar yang akhirnya memenangkannya. Ia pun langsung memenuhi janjinya untuk memakan pisang tersebut dengan santainya.
Katanya, pisang itu punya rasa yang sangat berbeda dan ikonik, jauh lebih baik daripada pisang lainnya.
Diminta komentar soal fenonema langka ini, kritikus seni Fajar Sidiq Sukirnanto berpendapat, fenomena konteks seni yang berdasarkan sumber karya berbasis kontemporer adalah logika kebaruan karena hiperialitas telah meminjam simulakrum atau simulakra, dan objek yang kehilangan nalar dalam visual ini dikarenakan tafsir karya seni seiring zaman mulai bergeser dan kehilangan makna.
Adapun simulakrum (jamak: simulakra, bahasa Latin) merujuk pada sebuah hal tampak, baik riil maupun khayal, salinan realitas atau entitas yang telah hilang atau bahkan tidak memiliki dasar realitas asal apa pun.
Dengan kata lain, representasi yang tampak bersumber atau berdasar pada hal yang secara ontologis palsu atau tidak tulen sehingga keberadaannya hanya absah berdasar pada status realitasnya sendiri.
Konsep ini adalah salah satu bagian kuat penyusun diskursus pascamodernisme dan umumnya bertautan dengan ekspresi kritis atas realitas yang dinilai hubungan representatif antara tanda dan maknanya terganggu.
Menurut Fajar, bila sebuah karya telah menghilangkan bentuk secara realitas, maka sublimasi pada visual hanya menghadirkan objek dari karya seni berdasarkan kreasi ide atau gagasan senimannya yang kompleks itu melalui pendekatan medium di dalam membaca gejala visualnya, bahkan akhirnya objek menjadi sebuah abstraksi nilai kebendaan.
“Bahkan kemunculan ‘trend’ baru ini hanyalah olah medium saja sifatnya dan kehilangan makna seperti karya ‘ready made element’ dan ‘pond object’ (objek kolam) seperti bentuk instalasi patung,” kata putra dari Slamet Sukirnato, sastrawan besar angkatan 1966 ini kepada Fusilatnews.com, Senin (2/12/2024).
Dalam gambaran absurditas, kata Fajar, fenomena atau gejala ini begitu mudah diabadikan, dan niscaya telah melampaui karya seni konvensional.
“Ini juga terjadi pada medium variabel lukisan Monalisa karya Leonardo da Vinci yang dilukis ulang oleh seniman Marcel Duchampp menjadi karya ‘mac shine’ ketika lukisan Monalisa dikonfigurasi ulang dengan menambahkan kumis. Berarti dalam kecenderungan revitalisasi juga berlaku klaim tentang dominasi duplikasi pada karya. Penggandaan ini menjadi jembatan terhubungnya seni murni dan seni tetapan untuk publik melalui sinisme, kritik, duel gol ke arah paparan seni konsumsi media dan ‘pop art’ (seni populer) di mana budaya massa menjadi ‘point of interest’ (titik penting) dari ‘something for given mainstream’ (sesuatu untuk arus utama tertentu) yang terbentuk di arus utama itu. Jadi, terlihat karya objek pisang menjadi ‘trigger’ (pemicu) kemunculan ‘avant-garde’ dari peran media massa dan budaya populer sebagai cerminan validasi peradaban,” paparnya.
Avant-garde, “advance guard” atau “vanguard” adalah kata yang digunakan pada orang atau karya yang bersifat eksperimental, radikal, dan tidak lazim. Karya-karya avant-garde umumnya bertujuan untuk melawan batas-batas dan norma dalam suatu kebudayaan.
Menurut Fajar, efek dari popularitas yang menggejala secara “formal balance” (keseimbangan formal) ikut meningkatkan harga, dan lukisan itu sedang melakukan komunikasi “branding awerness” (kesadaran merek) dan resonansi dengan menaikkan “value preposition” (nilai yang dijanjikan oleh perusahaan agar produk atau layanannya bisa diterima pasar atau konsumen) dan “customer segment” (segmentasi pelanggan), sehingga berganti harga dan ikut melambung.