Bagi banyak keluarga di negeri ini, terutama yang berasal dari latar belakang sederhana, keberhasilan seorang anak menempuh pendidikan tinggi adalah capaian sakral. Di sana tertumpuk harapan generasi yang lebih baik, yang lebih cerdas, dan tentu lebih bermartabat. Maka tak heran bila ibu-ibu petani mengeringkan air mata ketika menyaksikan anaknya menyandang toga, atau bapak-bapak buruh pabrik memeluk anaknya erat saat wisuda, seolah seluruh hidup yang berat itu terbayar lunas hanya oleh selembar ijazah.
Ijazah bukan sekadar kertas. Ia simbol kerja keras, bukti ketekunan, dan prasasti kecil yang merekam jejak perjuangan seseorang di dunia pendidikan. Karena itu pula, mereka yang benar-benar menempuhnya akan memajangnya di ruang tamu, atau membingkainya di dinding rumah yang sederhana, sebagai bukti sah bahwa ilmu telah menjadi bagian hidupnya.
Lantas, bagaimana bila sebuah ijazah justru dipertanyakan keasliannya? Apa yang tersisa dari kejujuran seorang pemimpin, bila fondasi akademiknya saja kabur dan membingungkan?
Kasus dugaan pemalsuan ijazah Presiden Joko Widodo menyisakan banyak kejanggalan. Bukannya menjawab secara terbuka dan sederhana—seperti menunjukkan ijazah asli, data kuliah, atau bahkan testimoni dari dosen dan teman seangkatan—yang terjadi justru berkelit, menggiring opini, dan menyerahkan urusan kehormatan itu kepada juru bicara atau pengacara.
Padahal jika memang benar lulus, mestinya ada rasa bangga. Seperti para alumni lainnya, bukankah mestinya Presiden Jokowi bisa dengan mudah menyebut siapa teman sebangkunya di semester lima, siapa dosen killer yang pernah mengujinya, atau kisah-kisah kocak saat praktik kerja lapangan? Tapi tak ada cerita. Yang ada hanya nama kampus yang terus diklaim, tanpa narasi pengalaman yang hidup.
Ini bukan hanya soal dokumen. Ini soal integritas. Soal kebanggaan personal yang mestinya tak perlu dibela dengan pernyataan hukum, tapi cukup dengan senyum bangga sambil menunjukkan ijazah dan mengenang masa kuliah.
Celakanya, rakyat kecil yang bersusah payah menyekolahkan anaknya—dengan menjual sawah atau meminjam ke koperasi—harus menyaksikan seorang pemimpin yang justru menodai makna ijazah. Bila benar ada pemalsuan, itu bukan hanya penghinaan terhadap institusi pendidikan, tapi juga pada mimpi dan air mata banyak orang tua di negeri ini.
Seorang presiden bisa dipilih tanpa gelar. Rakyat tak butuh pemimpin bergelar doktor atau sarjana bila ia jujur dan merakyat. Tapi ketika gelar dipalsukan hanya demi legitimasi kekuasaan, maka yang lahir bukan kepercayaan, melainkan kecurigaan. Apalagi jika pemalsuan itu ditutupi dengan kekuasaan, dijaga oleh buzzer, dan dilindungi oleh hukum yang kabur.
Di banyak tempat, ijazah digenggam erat oleh anak muda yang baru lulus kuliah. Mereka tahu, hidup ke depan belum tentu mudah, tapi mereka punya sesuatu yang bisa dibanggakan. Sementara di Istana, entah ijazah itu disimpan di mana. Atau jangan-jangan, memang tak pernah ada.
Karena sejatinya, kejujuran adalah ijazah tertinggi yang tidak bisa dipalsukan.