Oleh: Entang Sastraatmadja
Kesan bahwa ketahanan pangan hanya berkaitan dengan upaya meningkatkan produksi pangan, sudah waktunya ditinggalkan. Ketahanan pangan bukan semata urusan rumpun pertanian. Mereka yang memiliki fungsi aksesibilitas dan utilitas pun memikul tanggung jawab sama dalam membangun sistem pangan yang kokoh. Perubahan regulasi dari PP 68/2002 ke PP 17/2015 menegaskan bahwa ketahanan pangan tidak bisa dipisahkan dari persoalan gizi masyarakat.
Dalam kampanye Pilgub Jawa Barat 2024 lalu, pasangan Dedi Mulyadi–Erwan Setiawan mengumandangkan jargon Jawa Barat Istimewa. Dari sekian banyak sektor pembangunan, ketahanan pangan ditempatkan sebagai isu strategis hingga lahirlah istilah Ketahanan Pangan Istimewa.
Secara literatur, ketahanan pangan istimewa berarti kemampuan suatu daerah atau negara untuk memproduksi, mendistribusikan, dan mengonsumsi pangan yang cukup, aman, dan bergizi, serta berkelanjutan. Karakteristiknya jelas: ketersediaan pangan yang memadai, kualitas pangan yang aman, akses merata bagi semua lapisan masyarakat, kestabilan harga, serta produksi yang berkelanjutan tanpa merusak lingkungan.
Manfaatnya pun nyata: meningkatkan kesejahteraan, mengurangi kemiskinan dan kelaparan, sekaligus memperkuat ketahanan ekonomi agar tidak bergantung pada impor. Dengan kata lain, ketahanan pangan adalah soal tahan pangan dan tahan gizi sekaligus.
Namun pertanyaannya: apakah RPJMD Jawa Barat 2024–2029 sudah merumuskan hal ini secara tajam? Jika tidak, wajar bila ada yang menilai kegagalan ini sebagai bentuk keteledoran bersama.
Ketahanan pangan dan gizi memang mandat penting. Apalagi, PP 18/2016 tentang Perangkat Daerah menegaskan pangan sebagai urusan wajib meski tidak terkait pelayanan dasar. Ditambah UU No. 18/2012 tentang Pangan, jelaslah bahwa kebijakan pangan bersifat multi-sektor, dari hulu ke hilir, mulai dari ketersediaan, akses, hingga utilitas.
Maka, bila ingin melahirkan Ketahanan Pangan Istimewa, kuncinya ada pada sinergi, kolaborasi, dan koordinasi antar sektor. Tanpa semangat ini, indikator kinerja apa pun hanya akan menjadi formalitas yang berujung pada masalah tak berkesudahan.
RPJMD yang disusun teknokratik pun perlu ditelaah ulang. Bahkan posisi Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan harus diperjelas, karena hingga kini belum menunjukkan kinerja optimal.
Membangun mindset ketahanan pangan istimewa jelas bukan pekerjaan ringan. Inovasi menjadi syarat mutlak. Tanpa inovasi, sulit menjawab tantangan zaman. Ambil contoh diversifikasi pangan: sudah lama digalakkan, namun konsumsi beras justru terus meningkat. Mengerem laju konsumsi beras nyaris identik dengan mimpi yang tak kunjung nyata.
Pada akhirnya, ketahanan pangan bukan sekadar jargon kampanye. Ia adalah soal keberanian politik, kejelasan perencanaan, dan keseriusan eksekusi. Tanpa itu semua, Ketahanan Pangan Istimewa akan tetap menjadi slogan yang kehilangan makna.
(Penulis, Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat)

Oleh: Entang Sastraatmadja





















