Universitas Gadjah Mada, rumah intelektual yang dulu berselimut cahaya, kini berdiri gamang di simpang jalan sejarah. Sejak pertemuannya dengan para aktivis TPUA pada 15 April 2025, benteng ilmu itu tak lagi bisa menyembunyikan wajah di balik tabir “netralitas”. Waktu telah menyeretnya masuk ke gelanggang. Dan gelanggang, seperti kata Chairil, bukan tempat bagi yang ragu.
UGM kini berdiri di ambang dua dunia—satu adalah dunia kehormatan yang dibangun oleh idealisme, satu lagi adalah dunia kekuasaan yang bergelimang tipu muslihat. Diam berarti tunduk, berbicara berarti menantang. Ujian ini bukan sekadar tentang keabsahan segulung ijazah, melainkan tentang nyawa akademia yang dipertaruhkan: apakah akan tetap menjadi pelita bangsa, atau menjelma jadi bayang-bayang kekuasaan yang kehilangan cahaya.
Ada tiga jalan yang bisa ditempuh UGM, masing-masing dengan bayaran sejarahnya sendiri.
Jalan pertama: jalan keberanian. UGM memilih menjadi suara nurani bangsa, bukan gema penguasa. Audit internal dibuka lebar, keterlibatan publik dijadikan kewajiban moral, dan proses penyelidikan melibatkan tokoh-tokoh independen dari luar pagar kampus. Jalan ini penuh batu dan duri—tekanan politik, intervensi kekuasaan, mungkin ancaman terhadap keamanan pribadi. Tapi inilah jalan terang: UGM akan dikenang bukan sebagai kampus yang sekadar “pernah besar”, tapi sebagai institusi yang menyelamatkan harga diri bangsa saat yang lain membungkuk.
Jalan kedua: jalan abu-abu pragmatis. UGM bersikap lunak. Audit dilakukan, tapi hasilnya dikaburkan. Bahasa normatif ditebar seperti kabut di pagi hari—indah tapi menyembunyikan arah. Kampus berharap isu ini akan menua, seperti gosip di warung kopi yang esok lusa dilupakan. Tapi harga dari strategi ini mahal. Integritas terkikis, lambat namun pasti. Dosen, mahasiswa, dan alumni terpecah. Kampus kerakyatan itu berubah jadi tubuh kosong: kampus zombie—hidup, tapi kehilangan roh.
Jalan ketiga: jalan gelap. UGM menanggalkan etika dan menjadi alat negara. Argumentasi hukum dibengkokkan untuk membenarkan kebohongan. Kritik dibalas dengan pembusukan. Alih-alih menjadi penjaga kebenaran, UGM memilih menjadi pagar kekuasaan. Dan sejarah, seperti selalu, mencatat dengan tinta hitam untuk mereka yang menjual jiwanya demi singgasana. UGM akan jadi istana pasir: tampak megah dari luar, tapi retak dari dalam, menunggu gelombang kecil untuk hancur seluruhnya.
Yang akan menentukan arah langkah ini bukan hanya Rektor dan rektorat, tetapi kekuatan moral yang mengalir di nadi kampus. Apakah masih ada idealisme di ruang-ruang rapat pimpinan? Masih adakah suara mahasiswa yang berseru karena cinta, bukan karena takut? Masih adakah dosen-dosen yang mengajar dengan hati, bukan dengan perhitungan aman?
Di balik semua ini, bayangan kekuasaan masih menjalar. Rezim yang merasa terancam akan terus berusaha menekan, menyuap, menakut-nakuti. Tapi sejarah bangsa ini tidak pernah ditulis oleh mereka yang tunduk. Ia ditulis oleh mereka yang berdiri, walau sendiri.
Dalam 6 sampai 12 bulan ke depan, semuanya bisa berubah. Jika UGM memilih bungkam, ia akan mulai kehilangan anak-anak rohaninya. Alumni potensial akan berpaling, mahasiswa berhenti percaya, dosen merasa asing di tempatnya sendiri. Akreditasi internasional mulai goyah, kerja sama global tersendat, dan peringkat jatuh bukan karena nilai, tapi karena kehilangan nilai-nilai.
Namun jika UGM memilih jalan cahaya—dengan segala risikonya—ia bisa menjadi ikon kebangkitan baru. Sebuah titik tolak moral bagi pendidikan nasional yang lama tertidur.
Kepada UGM, pesan kami sederhana tapi genting: pilihlah kebenaran. Sebab kebenaran tak pernah layu oleh waktu. Ia mungkin ditinggalkan, disembunyikan, bahkan dikubur. Tapi seperti biji di tanah kering, ia akan tumbuh saat musim hujan tiba.
Kekuasaan akan lenyap. Nama besar bisa hancur. Tapi integritas akan abadi dalam ingatan kolektif bangsa. Kampus bukanlah istana untuk berlindung, tapi menara untuk menyuarakan. Sebuah bangsa hanya bisa bangkit, bila kampus-kampusnya berdiri sebagai mercusuar kebenaran, bukan corong propaganda.