Oleh: Karyudi Sutajah Putra-Analis Politik, Konsultan dan Survei Indonesia (KSI).
Jakarta – Alkisah, pada 18 Juni 1629, Raad van Justitie atau Dewan Kehakiman Pemerintah Hindia Belanda, kini Indonesia, di Batavia, kini Jakarta, menjatuhkan hukuman mati kepada Pieter Contenhoef karena prajurit rendahan yang masih belia dan ganteng itu terbukti menggoda dan kemudian meniduri Saartje Specx, anak angkat Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen. Keesokan harinya, menjelang Coentenhoef dipenggal kepalanya di tiang gantungan, JP Coen mencorengkan arang pada hidung prajurit yang telah mempermalukannya tersebut.
Ketika kepala Coentenhoef menggelinding dan terpisah dari badannya, terlihatlah hidungnya yang belang-belang. Sejak itu istilah pria hidung belang mulai populer untuk menggambarkan laki-laki nakal yang suka menggoda perempuan.
Kini, arang tampaknya perlu dicorengkan ke hidung Hasyim Asy’ari jika Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) ini untuk kedua kalinya terbukti melanggar kode etik terkait perbuatan asusila.
Diketahui, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) hari Rabu (22/5/2024) ini akan menggelar sidang perdana terkait pelanggaran etik yang diduga dilakukan Hasyim Asy’ari dalam kasus asusila. Ketua KPU itu disebut merayu personel perempuan Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Pemilu 2024 di Eropa.
Dalam aduan terhadap Hasyim di DKPP, Komisioner KPU dua periode ini disebut menggunakan relasi kuasa untuk mendekati, membina hubungan romantis, dan berbuat asusila.
Pertama kali keduanya bertemu terjadi pada Agustus 2023, saat Hasyim melakukan kunjungan kerja kedinasan. Terakhir kali bertemu pada Maret 2024. Keduanya disebut beberapa kali bertemu, baik saat Hasyim melakukan kunjungan dinas ke Eropa, atau sebaliknya saat korban kunjungan dinas ke Tanah Air.
Dalam keadaan keduanya terpisah jarak, terdapat upaya aktif dari Hasyim “secara terus-menerus” untuk menjangkau korban. Terjadi hubungan romantis, merayu, dan mendekati untuk nafsu pribadinya.
Namun, tidak ada intimidasi maupun ancaman dalam dugaan pemanfaatan relasi kuasa yang disebut dilakukan oleh Hasyim. Tak jelas apakah “perbuatan asusila” yang dimaksud juga mencakup pelecehan seksual atau tidak. Korban disebut butuh waktu untuk mengumpulkan keberanian membuat aduan semacam itu (Kompas.com, Selasa 21 Mei 2024).
Ini bukan pertama kalinya Hasyim tersandung masalah etik terkait dugaan perbuatan asusila. Sebelumnya, ia pernah dinyatakan melanggar etik dan dijatuhi sanksi peringatan keras terakhir oleh DKPP karena melakukan komunikasi yang tidak patut terhadap Ketua Umum Partai Republik Satu, Hasnaeni Moein alias “Wanita Emas”.
Hasyim bersama seluruh Komisioner KPU juga dinyatakan melanggar etik karena serta-merta menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. DKPP menjatuhkan sanksi berupa peringatan keras dan terakhir kepada Hasyim.
Dalam kasus dugaan asusila kepada personel perempuan PPLN di Eropa, apakah Hasyim Asy’ari akan dinyatakan melanggar kode etik dan dijatuhi sanksi peringatan keras dan terakhir, atau sebaliknya justru bebas?
Kita tidak tahu pasti. Yang jelas, meskipun katakanlah nanti terbukti melanggar etik dan kembali dijatuhi sanksi peringatan keras dan terakhir, namun Hasyim tak akan dipecat. Sebab, berbeda dengan permainan sepakbola di mana akumulasi dua kartu kuning langsung berubah menjadi kartu merah, aturan main di DKPP tidak seperti itu. Dus, meskipun Hasyim sudah dua kali mendapat sanksi peringatan keras dan terakhir, bahkan bisa jadi kasus teranyar ini juga berbuah sanksi peringatan keras dan terakhir, namun Hasyim tak bisa serta-merta dicopot dari jabatannya. Sebab, DKPP tidak mengenal akumulasi sanksi.
Kalau sudah begini, jika nanti terbukti Hasyim melakukan tindakan asusila untuk kedua kalinya, maka DKPP barangkali perlu mencorengkan arang di hidung Ketua KPU itu sehingga akan terstigma sebagai pria hidung belang seperti prajurit Belanda yang dihukum mati karena merayu dan kemudian meniduri anak angkat JP Coen.
Kekuasaan dan Seks
Filsuf asal Prancis, Michel Foucault (1926-1984) berpendapat, kekuasaan dan seksualitas saling mengintervensi. Kekuasaan adalah seks, seks adalah kekuasaan. Inilah yang mungkin sedang menjangkiti Hasyim Asy’ari.
Hal itu berkelindan dengan “Cleopatra Syndrome” atau Sindrom Cleopatra yang kerap menghantui kaum perempuan.
Cleopatra, Ratu Mesir, lahir tahun 69 SM, adalah sosok yang menggunakan seks dan kecantikannya untuk mendapatkan cinta laki-laki agar bisa berkuasa dan memenangi pertarungan politik.
Laki-laki memberikan cinta untuk mendapatkan seks, perempuan memberikan seks untuk mendapatkan cinta. Untungnya, personel perempuan PPLN di Eropa itu tidak terjebak Sindrom Cleopatra, sehingga ia melaporkan peristiwa yang menimpanya ke DKPP.