Oleh M Yamin Nasution-Pemerhati Hukum
Introduction
Bahwa, tak ada yang lebih penting dalam keamanan masyarakat kecuali profesionalisme kepolisian, dan disebut politik apabila ia melayani masyarakat secara terus menerus, maka tidak ada lembaga politik negara yang lebih intensif melayani masyarakat kecuali Kepolisian.
Polisi melayani masyarakat selama satu kali dua puluh empat jam per tujuh hari secara terus menerus, melebihi lembaga politik DPR, Kementrian. Hal ini menunjukkan bahwa wajah terdepan pemerintah pusat adalah Kepolisian.
Bahwa, dalam system penegakan hukum “in criminal justice system” yang terdiri dari : Kepolisian, Jaksa dan Kehakiman. Kepolisian juga menjadi gerbang utama untuk menciptakan penegakan hukum yang baik sehingga dapat melahirkan keadilan sesuai tujuan negara.
Beratnya beban tersebut sehingga memberikan tuntutan sangat besar kepada lembaga Kepolisian. Oleh sebab itu, Kesehatan Psikologi Lembaga Kepolisian dan Kesehatan Psikologi nggota harus benar-benar terjamin sangat baik, diatas rata-rata dan bebas dari intervensi siapapun, kecuali perintah hukum.
No Viral No Justice
Istilah “No Viral, No Justice” pernah diucapkan oleh Kapolri Jendral. Drs. Listyo SIgit Prabowo. M.Si., kalimat pendek tersebut menunjukkan suatu ajakan dan anjuran Kapolri kepada masyarakat untuk mem-viralkan kasus-kasus hukum agar mendapatkan keadilan.
Belakangan ini, kasus kejahatan pembunuhan yang dialami dua korban muda-mudi dari Cirebon (Alm. Vina dan Alm. Eky) yang telah di vonis delapan tahun silam, kini ramai menjadi perhatian dan perbincangan netizen & citizen di media sosial.
Beberapa saksi yang menjadi saksi di pengadilan kala itu, kini banyak merubah pernyataan dan beberapa dari saksi dan tervonis mengungkap fakta lain yang dialami seperti; adanya rekayasa penyelidikan, intimidasi bahkan hingga mengalami kekerasan yang dilakukan oleh pihak penyidik Polres Kota Cirebon.
Dalam berkas perkara, para tervonis ditangkap & ditahan pada tanggal 31 Agustus 2016 empat hari setelah kejadian, diperiksa pada tanggal 1 september 2016, pada saat itu semua terperiksa dalam berkas acara pemeriksaan (BAP) memberikan keterangan yang sama.
Selain itu, mengingat kasus ini juga melibatkan anak diawah umur, maka membutuhkan perhatian khusus dan membutuhkan pendampingan, dalam berkas acara pemeriksaan juga ditemukan adanya Surat Kuasa tertanggal 2 September sampai dengan 14 September 2016, akan tetapi tidak diketahui siapa pengacaranya.
Hingga tanggal 19 Oktober 2016 para tersangka mendapatkan pendampingan hukum oleh pengacara, mayoritas keterangan mulai berubah dan mencabut BAP lama. Para tersangka mengatakan bahwa seluruh pertanyaan dan jawaban telah disiapkan dipapan tulis, dipaksa dengan kekerasan untuk diakui oleh orang-orang yang ditahan.
Artinya ada dugaan ketidaktaatan terhadap hukum dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh tim penyidik Polresta Cirebon kala itu.
Viralitas paska film “Vina Cirebon” dan interview pihak keluarga membuat pihak Dirkrimum Polda Jawa Barat seperti sedang memakan bara api, banyak anggota yang diperiksa.
Akan tetapi kasus ini masih tetap tidak dibuka secara jujur untuk mendapatkan keadilan bagi pihak-pihak, Pihak Kepolisian Polda Jabar bahkan mengatakan bahwa dua DPO fiktif.
Merujuk pada Putusan Pengadilan Negri Nomor 4 Tahun 2017 bahwa hakim merujuk pada BAP Kepolisan sebagai petunjuk dalam putusan.
Kasus ini bahkan mendorong Presiden Republik Indonesia (Jokow Widodo) angkat bicara dan meminta untuk diselesaikan secara terbuka.
Namun, lagi-lagi pihak pihak kepolisian tidak berupaya memperbaiki komunikasi hukum didepan publik, bahkan lebih buruk.
Kadiv Humas Polri, Irjen Sandi Nugroho mengatakan, penghapusan nama DPO itu lantaran belum ada barang bukti yang cukup dalam perkara ini.
Ia menegaskan bahwa “alat bukti yang mengarah kepada dua orang ini sampai dengan saat ini belum mencukupi, bahkan ada beberapa keterangan saksi itu fiktif, nama fiktif” (Mabes Polri Jakarta, Kamis, 30 Mei 2024).
Pernyataan resmi tersebut mendukung dan menguatkan pernyataan dari pihak Polda Jabar yang sebelumnya mengatakan bahwa dua DPO fiktif.
Ditempat lain, saat Kadiv Humas Polri Irjen Sandi Nugroho diudang Media Kompas TV dalam acara “Simpang Siur” 20 Juni 2024, ia mengatakan : bahwa pembunuhan yang terjadi tersebut adalah pembunuhan yang sadis, dengan menerangkan kerusakan pada tubuh korban berdasarkan hasil visum.
Lebih lanjut, ia meneragkan bahwa : “pihak penyidik tidak asal-asalan, sembari menunjukkan foto tersangka Pegi Setiawan (PG) yang diambil penyidik pada tahun 2016 pada saat penggerebekan.
Bila dikaitkan dua keterangan tersebut maka akan ditemukan dua nalar penjabaran yang cacat “logically fallacious” disatu sisi, kadiv humas mengatakan ”penyidik tidak asal-asalan” namun ditempat lain ia mengatakan “alat bukti yang mengarah pada dua DPO belum mencukupi”.
Model Pembuktian Pidana Indonesia
Model hukum pembuktian Indonesia merujuk pada konsep pembuktian Prancis yang terdiri dari dua, yaitu keyakinan hakim memutus berdasarkan dua alat bukti yang sang sah “conviction rainsonce” dan “conviction un tim” hakim memutus berdasarkan keyakinan subjektif, akan tetapi keyakinan ini harus didasarkan pada pengetahuan hakim terhadap konsep & teori hukum dan fakta pengadilan.
Di dalam literatur hukum Indonesia mayoritas ahli dan sarjana hukum menyebut “conviction un tim” dengan “conviction in time” dan ini dipasttikan salah.
Belanda menggunakan konsep pada dasarnya yang sama yaitu “negatief und positief wettelijke” atau Bahasa Prancis diatas diartikan dalam Bahasa belanda sebagai “vrije bewijsleer” dan “bloot gemoedelijk over tuiging”.
Model ini lebih jelas dan dituangkan pada Pasal 183 Dan Pasal 184 KUHAP Jo Putusan MK 2010 yang disebut Ex. Rules
Pasal 183 KUHAP menyatakan : ”hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwa yang bersalah melakukannya”.
Kesimpulan
Berkaiatan dengan kasus “Vina Cirebon” bahwa pihak kepolisian sendiri dalam hal ini Kadiv Humas Polri, Irjen Sandi Nugroho telah membuat intansi menjadi buruk disebabkan kouminkasi hukum yang ambigu, demikian juga Kadiv Humas Polda Jabar sehingga membuat kisruh dimasyarakat.
Hans Kelsen Mengatakan : Bahwa Pidato Publik non ilmiah oleh pembesar publik (pidato politis) dapat dapat mengacaukan publik dan membuat rusak penegakan hukum.
Apa yang disampaikan oleh Kadiv Humas tak sejalan dengan kontruksi hukum pembuktian yang semestinya menjadi pertimbangan kepolisian dalam penyampaian publik, mengingat para sarjana hukum melihat kecerobohan ini.
Meminta Kapolri untuk mencopot dan mengganti Kadiv Humas Polri, Irjen Sandi Nugroho dan Kadiv Humas Polda Bandung agar citra kepolisian tidak semakin buruk, mengingat masih banyak anggota polisi yang berkerja dan melakukan tugasnya dengan sangat baik serta tidak menjadi contoh buruk bagi generasi polri kedepan.
Meminta agar Kepolisian Republik Indonesia memperbaiki kinerja anggota dan memperbaiki kesehatan spikologis lembaga dan psikologis anggota, sehingga masyarakat kembali mencintai Kepolisian RI sebagai barisan terdepan wajah pemerintah pusat dan gerbang terdepan dalam menciptakan penegakan hukum dan keadilan yang baik.