Di tengah riuh perayaan Hari Buruh Internasional yang saban tahun dirayakan dengan pekikan orasi dan gelombang massa berbaju merah, satu pertanyaan mendesak untuk diajukan: ke mana ideologi buruh pergi? Di balik poster tuntutan upah layak dan sistem kerja yang adil, gerakan buruh di Indonesia tampak seperti barisan yang kehilangan fondasi ideologisnya. Buruh menuntut, negara mendengar sebagian, pengusaha mengeluh, lalu semuanya kembali ke titik semula. Dalam siklus ini, gagasan laborisme sebagai ideologi kelas pekerja nyaris tenggelam.
Padahal laborisme bukan sekadar semangat protes. Ia adalah bangunan pemikiran yang menempatkan kelas pekerja sebagai pusat perubahan sosial. Lahir dari rahim revolusi industri dan perjuangan kelas di Eropa abad ke-19, laborisme menjelma menjadi fondasi gerakan buruh modern, terutama di Inggris dan beberapa negara Nordik. Ia menolak dominasi modal dan memperjuangkan negara kesejahteraan (welfare state) melalui kekuatan politik buruh yang terorganisir dalam partai-partai buruh. Laborisme adalah keberanian untuk mengklaim kekuasaan bukan hanya dari jalanan, tetapi juga dari parlemen.
Di Inggris, Partai Buruh bukan sekadar pelengkap demokrasi. Ia menjadi mesin politik kelas pekerja, melahirkan kebijakan seperti jaminan kesehatan universal (NHS), pendidikan publik, dan perlindungan sosial. Di negara-negara Skandinavia, prinsip laborisme melahirkan model negara yang berhasil menyeimbangkan kapitalisme dan keadilan sosial. Dalam laborisme, kerja adalah martabat, dan negara hadir untuk memastikan kerja itu memberi hidup, bukan memeras hidup.
Ironisnya, di Indonesia, buruh hanya menjadi suara yang dipanggil lima tahun sekali—untuk memilih, bukan untuk memimpin. Gerakan buruh lebih sibuk melawan daripada membangun. Fragmentasi serikat, kooptasi politik praktis, dan absennya agenda ideologis menjadikan buruh ibarat anak tiri dalam rumah demokrasi. Mereka tampak ramai, tapi suaranya mudah diredam. Mereka tampak kuat, tapi organisasinya rapuh. Mereka menolak UU Cipta Kerja, tapi tak punya kekuatan politik untuk membatalkannya dari dalam.
Laborisme menawarkan jalan keluar dari kebuntuan ini. Tapi untuk itu, buruh harus berani melangkah lebih jauh dari sekadar demonstrasi. Mereka harus masuk ke ranah produksi ide dan kekuasaan. Tanpa partai politik buruh yang solid, tanpa visi ideologis yang jelas, gerakan buruh akan terus menjadi koreksi pinggiran terhadap sistem yang telah dikapling elit ekonomi dan politik.
Membangun laborisme di Indonesia bukan perkara mudah. Ia menuntut disiplin organisasi, pengorbanan jangka panjang, dan militansi intelektual. Tapi bukankah sejarah buruh selalu ditulis dengan peluh dan perlawanan? Di negeri yang serikat buruhnya kerap direduksi jadi kendaraan negosiasi upah, membicarakan laborisme memang terdengar utopis. Tapi justru dalam utopilah ideologi menemukan ruangnya—untuk menantang, bukan sekadar mengakomodasi kenyataan.
Mungkin sudah saatnya buruh Indonesia berhenti menjadi sekadar penonton dalam lakon demokrasi. Sudah waktunya mereka menjadi sutradara dari panggung politik yang selama ini hanya memberi peran figuran. Dan laborisme bisa menjadi naskah yang ditulis ulang—bukan di jalanan semata, tapi di ruang-ruang legislasi, kebijakan, dan kesadaran kolektif.
Karena dalam dunia yang terus bergerak mengikuti kepentingan modal, satu-satunya cara agar buruh tak terus-menerus diinjak adalah dengan berdiri tegak di atas ideologinya sendiri.