Oleh : Ali Syraief, dimuat dalam HU Pikiran Rakyat, edisi senin 12 Juli 2004
MENGELOLA usaha kecil di Australia sangat mengesankan. Lokalisasi dirancang sedemikian rupa, sehingga sekaligus menjadi tempat tujuan wisata. Jenis- jenis pekerjaan dibuat sedimikian rupa sehingga kelompok-kelompok yang ada di masyarakat, mendapat kesempatan bekerja dengan baik, termasuk masyarakat yang diasable (cacat). Di Jepang, usaha kecil pada umumnya terkait dengan usaha besar, sehingga usaha kecil menjadi supplier utama pada usaha-usaha raksasa. Usaha kecil dan home industry , menjadi benar-benar tulang punggung perekonomian bangsa. Di Cina, kekuasaan sistem politik pemerintah, semakin dirasakan sebagai iklim yang kondusif bagi investasi, pengembangan usaha dan termasuk peluang usaha baru bagi usaha kecil.
Sudah menjadi komitmen pemerintah dan semua pihak yang terkait, bahwa usaha kecil-menengah harus terus diupayakan menjadi bagian yang penting dalam menopang pertumbuhan perekonomian bangsa ini. Tetapi dalam praktiknya di lapangan, kita banyak menjumpai kenyataan yang tojai’ah (bertolak belakang), antara policy yang digariskan dengan sistem pendukungnya. Misalnya, patut disayangkan, hadirnya Kepres No. 80 tahun 2004, masih berbasa-basi keberpihakannya kepada usaha kecil. Memang ada bab khusus mengenai perhatiannnya kepada usaha kecil, seperti pada Bab IV, tetapi dalam bab lain, terasa lebih kepada situasi free fight competition .
Rumitnya menentukan kualifikasi usaha kecil ini, mengakibatkan program pembinaan dan pengembangan menjadi tidak fokus, dan mendorong pihak-pihak tertentu untuk turut terlibat. Bayangkan, menurut catatan Kementerian Negara Koperasi dan UKM, di Indonesia terdapat 41 juta usaha kecil.
Di Jawa Barat, berbagai program pembinaan usaha kecil yang sudah dilaksanakan selama ini tidak pernah dievaluasi dan tidak memiliki parameter yang jelas untuk mengukur tingkat keberhasilan dan kegagalan program. Selama ini yang dapat dianggap sebagai target kuantitatif berupa kegiatan pelatihan, kegiatan pameran dan kegiatan penyaluran dana pinjaman dalam bentuk revolving fund atau dana bergulir. Kegiatan penyaluran dana sendiri relatif tertutup. Sebagai contoh, kegiatan pembinaan dalam bentuk penyaluran dana bagi usaha kecil di Jawa Barat yang dilaksanakan oleh BUMN dan instansi lainnya diperkirakan lebih dari Rp 500 miliar . Hanya tiap pelaksana program yang tahu berapa dan yang sudah disalurkan dan berapa yang macet. Tetapi secara total, sampai saat ini tidak ada satu lembaga pun di Jawa Barat yang tahu persis berapa jumlah dana telah disalurkan serta tingkat kemacetannya.
Sangat disayangkan, karena data-data yang sering diungkap tentang peranan usaha kecil adalah data makro, yaitu tentang kontribusi usaha kecil dalam PDRB Jawa Barat. Kegiatan pembinaan yang semula memiliki maksud dan tujuan mulia, telah berubah menjadi projek yang menggiurkan dan aman. Semua orang seakan berebut kue pembinaan, pelaksana pembinaan berlomba melakukan pembinaan karena tidak perlu ada target yang jelas, harus bagaimana dan jadi apa usaha kecil yang dibina. Di sisi lain, usaha kecil yang selama ini sering dibanggakan sebagai salah satu penopang dan katup penyelamat perekonomian nasional, juga ikut berlomba untuk menikmati dana pembinaan, karena kalau macet pun tidak ada sanksi.
Tidak banyak orang yang menyadari bahwa selama ini kita telah dininabobokan oleh laporan kinerja usaha kecil yang disajikan secara makro, di mana kontribusi PDRB usaha kecil secara total memang menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Padahal, peningkatan kinerja usaha kecil tersebut belum tentu berasal dari usaha kecil yang sama. Atau dari usaha kecil yang berkembang usahanya karena hasil pembinaan. Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa usaha kecil itu pada dasarnya patah tumbuh hilang berganti. Bulan ini mungkin muncul usaha kecil baru dalam jumlah puluhan orang, tetapi pada bulan ini pula sekian usaha kecil berhenti atau bangkrut karena berbagai sebab. Yang menarik, dalam beberapa kasus tidak sedikit di antara usaha kecil yang berhenti atau collaps tersebut merupakan usaha yang sudah dibina dan mendapatkan bantuan pinjaman.
Dari catatan Puskon ITB, potret pembinaan usaha kecil kita saat ini sebagai berikut: 1) Pelaksana adalah lembaga yang memiliki program serta dana, seperti instansi pemerintah dan BUMN; 2) Tidak ada koordinasi di antara lembaga yang satu dengan lembaga lainnya, baik antarsesama lembaga pemerintah, maupun antar sesama BUMN, apalagi antarinstansi pemerintah dengan BUMN; 3) Bentuk pembinaan yang selama ini dilaksanakan, umumnya pelatihan-pelatihan (teknis maupun manajerial), bantuan promosi (pameran) serta yang paling ditunggu oleh usaha kecil dan koperasi adalah pinjaman dana bergulir.
Bila suatu lembaga telah melakukan hal-hal tersebut di atas, maka dikatakan bahwa lembaga itu sudah melaksanakan program pembinaan. Sebenarnya tidak salah dan program pembinaan dengan ciri-ciri seperti itu cukup baik, apabila memang hanya hal-hal tersebut saja yang paling dibutuhkan oleh usaha kecil. Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa ada hal-hal lain yang sebenarnya masih diperlukan oleh usaha kecil.
Untuk itu mari kita lihat profil atau potret usaha kecil, pada umumnya. Potret usaha kecil: (a) Merupakan usaha keluarga dengan modal yang terbatas; (b) Tidak memiliki manajemen dan perencanaan usaha yang jelas; (c) Menggunakan teknologi dan peralatan yang sederhana; (d) Tidak memiliki akses pemasaran langsung kepada konsumen; (e) Egois, dan kurang memiliki rasa kebersamaan; (f) Kurang memiliki komitmen dan etika bisnis; (g) Tidak memiliki kemandirian dalam berusaha (tingkat ketergantungannya tinggi); (h) Umumnya berasal dari masyarakat yang tidak memiliki budaya bisnis (masyarakat agraris) sehingga kurang memiliki wawasan bisnis; (i) Minim dan kesulitan untuk mengakses berbagai informasi.
Dari potret dan ciri-ciri tersebut, dan di tengah persaingan usaha yang sangat ketat sebagaimana yang terjadi saat ini, usaha kecil pada hakikatnya belum layak disebut pengusaha. Beberapa poin di atas memberi isyarat kepada kita, bahwa memang tidak setiap orang berpeluang untuk menjadi pengusaha, sekalipun itu untuk usaha kecil. Di sinilah peranan pemerintah, dapat mengarahkan SDM yang memang tidak pantas menjadi pengusaha, bisa disiapkan menjadi buruh yang terampil, sebagaimana hal ini dilakukan di Korea , rejustifikasi.***
Penulis penasihat Forum Penyelamat Dunia Usaha Indonesia Provinsi Jawa Barat.