OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
“Kiprah” dibangun oleh dua kata penting, yakni “move” dan “change”. Bergerak dan berubah. Kiprah berarti tindakan, aktivitas, kemampuan kerja, reaksi, atau cara pandang seseorang terhadap ideologi atau institusinya. Kiprah juga bisa diartikan sebagai melakukan kegiatan atau berpartisipasi dengan semangat tinggi di suatu bidang.
Dalam kehidupan keseharian, kiprah tidak bisa dipisahkan dari pengertian aktivitas, tetapi kiprah adalah melakukan kegiatan dengan semangat tinggi. Ada daya juang di dalamnya. Sedangkan aktivitas adalah melakukan segala sesuatu yang berhubungan dengan tindakan atau kegiatan yang dilakukan manusia.
Beberapa teladan terkait dengan kiprah bisa dicermati dari berbagai aspek kehidupan. Dalam konteks dakwah, kiprah berarti melakukan kegiatan dakwah yang mengandung seruan atau ajakan kepada keinsyafan. Dalam seni tari, kiprah bisa berarti gerakan cepat dan dinamis seperti tarian Jawa dalam pertunjukan wayang orang.
Kiprah Bulog sendiri merujuk pada peran aktif dan kontribusi Badan Urusan Logistik (Bulog) dalam berbagai bidang.
Di bidang Pangan antara lain mengatur pasokan dan harga bahan makanan pokok (beras, gula, tepung); menyediakan bantuan pangan bagi masyarakat miskin dan terkena bencana dan meningkatkan ketahanan pangan nasional.
Di bidang Ekonomi diantaranya, stabilisasi harga barang pokok; mendukung petani dengan membeli produk mereka dan meningkatkan pendapatan petani. Di bidang Sosial adalah menyediakan bantuan sosial bagi masyarakat miskin; mengurangi kemiskinan dan ketimpangan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sedangkan di bidang Strategis, kiprah Bulog terkait dalam menghadapi krisis pangan dan ekonomi; mendukung pertahanan dan keamanan nasional; dan
meningkatkan ketahanan nasional. Selain itu, kiprah Bulog juga mencakup: pengembangan infrastruktur logistik; modernisasi sistem pengadaan dan distribusi; dan kerjasama dengan pihak swasta dan internasional.
Sejak Presiden Prabowo bicara perlunya transformasi kelembagaan Perum Bulog dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi Lembaga Otonom Pemerintah, perbincangan soal Bulog tampak marak di berbagai pertemuan. Di bawah dirijen Menko bidang Pangan, Kabinet Merah Putih pun tampak ikut sibuk membahasnya. Bulog masa depan, jelas harus berbeda dengan Bulog masa kini.
Status Bulog sebagai BUMN sepertinya sulit untuk menampilkan kinerjanya secara maksimal. Perum Bulog susah unruk melaksanakan fungai bisnisnya secara optimal. Selain keterbatasan sumber daya manysia pendukungnya, ternyata Perum Bulog pun lebih disibukan oleh penugasan-oenugasan Pemerintah sebagai operator pangan.
Langkah Pemerintah untuk “membebaskan” Perum Bulog dari status BUMN, diharapkan mampu menjadikan Bulog untuk lebih fokus dalam mendukung percepatan pencapaian swasembada pangan. Dengan status nyq sebagai lembaga otonom Pemerintah, Bulog tentu akan lebih jelas menapakan kaki selaku “alat negara”.
Bulog sebagai lembaga otonom Pemerintah, sebetulnya bukan hal baru dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Selama 36 tahun Bulog berpengalaman sebagai Lemvaga Pemerintah Non Departemen. Itu sebabnya, tatkala ada keinginan untuk mengembalikan statusnya seperti Bulog masa lalu, sejatinya bangsa ini berkehendak untuk bernostalgia.
Tinggal sekarang bagaimana merajut pengakaman masa lalu itu dengan suasana kekinian. Inilah yang kini tengah digodok oleh para perancang dan perumus regulasi yang bakal melahirkan Bulog Baru. Masalahnya kapan regulasi ini akan segera dituntaskan, sehingga dalam waktu yang segera, Bulog akan langsung berkiprah sesuai tugas dan fungsinya.
Dalam waktu yang tidak lama lagi, para petani akan melaksanakan panen raya padi. Menurut pantauan lapangan, mulai Pebruari 2025 sudah ada daerah yang panen. Pengalaman selama ini menunjukkan, setiap musim panen, harga gabah di petani selalu anjlok. Padahal dalam benak petani telah tertanam, saat panen merupakan peluang untuk berubah nasib.
Hadirnya Bulog Baru, tentu sangat dimintakan oleh kaum tani untuk daoat berkiprah terbaiknya dalam melindungi petani dari perilaku oknum-oknum yang ingin meminggirkan petani dari pentas pembangunan. Berpengalaman selama 36 tahun jadi LPND dan 21 tahun menjadi BUMN, mestinya Bulog tidak perlu sulit untuk mewujudkan aspirasi petani. Bulog sangat berkemampuan untuk menjawabnya.
Seiring dengan itu, Bulog pun berkewajiban untuk berkomunikasi secara inten dengan bandar/tengkulak/pedaganfmg/pengusaha gabah dan beras, untuk sama-sama memiliki kesadaran baru terkait keberadaan Bulog dalam mendukung pencapaian swasembada pangan dan melaksanakan perlindungan sekaligus pembelaan terhadap petani.
Semoga kiprah Bulog ke depan akan selalu nemberi berkah kehidupan bagi segenap warga bangsa. (PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).