Oleh Prihandoyo Kuswanto – Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila
Seratus hari pertama pemerintahan Prabowo ternyata masih jauh dari solid. Banyak loyalis mantan Presiden Jokowi yang hanya setengah hati dalam mendukung kepemimpinannya. Program unggulan seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas Badan Gizi Nasional (BGN) pun menghadapi berbagai tantangan, terutama dalam hal kepemimpinan dan implementasi di lapangan.
Ketua BGN yang ditunjuk bukanlah sosok dengan kapasitas dan pengalaman dalam bidang pangan dan gizi, melainkan sekadar mantan pentolan Projo yang diberikan jabatan setingkat menteri. Akibatnya, konsep ketahanan pangan yang seharusnya bertumpu pada kedaulatan dan kemandirian pangan justru diterjemahkan sebagai legitimasi impor pangan dari luar negeri.
Padahal, ketahanan pangan seharusnya dimaknai sebagai upaya membangun kedaulatan pangan berbasis kemandirian petani, nelayan, dan peternak dalam menyediakan kebutuhan pangan nasional. Jika orientasi pemerintah adalah kedaulatan dan kemandirian pangan, maka yang harus dibangun adalah lumbung pangan di setiap kecamatan yang menjadi sumber penyediaan bahan untuk MBG.
Lebih parah lagi, pemikiran Ketua BGN tampak parsial dan tidak memiliki perspektif holistik dalam menyusun program. Pernyataannya yang menyebut serangga dan ulat bisa menjadi sumber protein menjadi polemik yang meresahkan masyarakat. Alih-alih berempati terhadap kebutuhan gizi anak-anak Indonesia, ia justru mengusulkan menu yang tidak sesuai dengan kultur dan ketersediaan pangan nasional.
Memang, dalam kondisi ekstrem seperti di pedalaman Asmat, ulat sagu bisa menjadi sumber protein. Namun, itu terjadi karena tidak adanya alternatif seperti ayam, daging, tahu, atau tempe. Penulis sendiri pernah tinggal di Agats, Asmat, pada tahun 1986 dalam rangka pengabdian pembangunan pusat Asmat dan memahami realitas tersebut. Tetapi, menjadikan serangga sebagai menu utama bagi anak-anak di perkotaan jelas merupakan kebijakan yang absurd dan tidak berempati.
Jika MBG dipahami secara holistik, maka program ini tidak hanya sekadar mencukupi asupan gizi anak-anak dan ibu hamil, tetapi juga membangun persatuan bangsa, menghidupkan perekonomian pedesaan, serta memperkuat kedaulatan pangan. Oleh karena itu, program ini tidak bisa hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi harus melibatkan partisipasi masyarakat agar menjadi Gerakan Nasional dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote.
Politik Proyek di Balik MBG
Sayangnya, di balik program ini, ada indikasi rebutan proyek secara sembunyi-sembunyi oleh kelompok-kelompok pendukung Prabowo yang dimotori oleh Projo. Salah satu skandal yang mencuat adalah sewa lahan untuk dapur umum. Setiap 600 m² lahan disewakan Rp1,2 miliar—angka yang tidak masuk akal jika diterapkan secara seragam di pedesaan, pedalaman, dan perkotaan.
Presiden Prabowo harus segera menyadari bahwa ada upaya pembusukan dari dalam yang bisa mencemari program ini. Jika Ketua BGN benar-benar memiliki kapasitas, seharusnya ia mengedepankan konsep gotong royong dengan melibatkan stakeholder di setiap kecamatan untuk membangun lumbung pangan. Tidak perlu membangun dapur umum baru, cukup memanfaatkan kantin sekolah dan dapur pesantren dengan meningkatkan standar higienisnya.
Kebutuhan bahan pangan bisa disuplai dari jaringan lumbung pangan. Jika suatu lumbung surplus beras, sementara lumbung lain surplus ayam, ikan, atau telur, maka bisa dilakukan pertukaran dan transaksi. Dengan demikian, akan terbentuk jaringan ekonomi pedesaan yang melibatkan BUMDes, koperasi tani, peternak, dan nelayan.
Bahkan, dengan kemajuan teknologi, bisa dibuat Aplikasi Lumbung Pangan Indonesia (ALPI) yang menghubungkan jaringan lumbung pangan di seluruh daerah. Jika ini diterapkan, lumbung pangan bisa menjadi motor penggerak MBG, sekaligus membangun kemandirian ekonomi berbasis komunitas.
Bahaya Oligarki dalam MBG
Yang lebih memprihatinkan, ada indikasi bahwa program ini justru menjadi ajang bisnis bagi pemodal oligarki. Ada pemikiran bahwa BGN tidak perlu membangun dapur umum sendiri, melainkan cukup membeli nasi paket seharga Rp10.000 dari vendor tertentu. Jika setiap kecamatan memproduksi 7.000 paket per hari, maka pendapatan per dapur umum mencapai Rp70 juta per hari.
Jika dikalikan 23 hari kerja dalam sebulan, maka satu dapur umum bisa menghasilkan Rp1,61 miliar per bulan atau Rp19,32 miliar per tahun. Jika skema ini diterapkan di seluruh kecamatan, maka dapur umum bisa menjelma seperti Indomaret—ada di mana-mana, dan menjadi ladang bisnis bagi oligarki. Kini, skema ini sedang diperebutkan oleh kelompok-kelompok pendukung Prabowo, termasuk alumni perguruan tinggi yang tergabung dalam tim suksesnya.
Dari analisis ini, jelas bahwa MBG seharusnya menjadi gerakan sosial berbasis partisipasi masyarakat, bukan sekadar proyek bisnis bagi elite tertentu. Jika benar-benar dikelola dengan baik, program ini tidak hanya memenuhi gizi anak-anak Indonesia, tetapi juga membangun ekonomi pedesaan, memperkuat kedaulatan pangan, dan menggerakkan persatuan bangsa.
Namun, jika terus dibiarkan sebagai ajang bancakan, program ini bisa menjadi sumber skandal besar dalam pemerintahan Prabowo. Saatnya Presiden bertindak tegas—membersihkan BGN dari kepentingan politik dan oligarki, serta mengembalikan program ini ke jalur yang benar: membangun Indonesia dari desa, untuk kedaulatan pangan nasional.