Bayangkan sebuah dunia di mana Greenpeace Indonesia, organisasi yang dikenal luas sebagai penjaga lingkungan, mendapati diri mereka diberi izin pertambangan oleh pemerintah. Kedengarannya seperti plot novel distopia, bukan? Namun, inilah yang mungkin terjadi jika dunia berjalan dengan logika terbalik, sebuah parodi tragikomedi yang melukiskan betapa absurdnya kebijakan ini.
Pemerintah baru-baru ini mengeluarkan kebijakan kontroversial yang memberikan izin pertambangan kepada organisasi masyarakat (Ormas), yang memicu perdebatan luas di kalangan aktivis lingkungan, akademisi, dan masyarakat. Pemerintah berargumen bahwa langkah ini bertujuan untuk memberdayakan ekonomi lokal dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam. Namun, kebijakan ini menuai kritik tajam karena berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, mengingat Ormas yang seharusnya mengawasi pemerintah kini terlibat langsung dalam bisnis yang mereka awasi. Kekhawatiran juga muncul terkait dampak lingkungan dan sosial dari operasi pertambangan yang mungkin tidak dapat dikelola dengan baik oleh Ormas yang kurang berpengalaman. Selain itu, ada risiko penyalahgunaan izin pertambangan oleh Ormas yang memiliki koneksi politik, membuka celah bagi korupsi dan nepotisme. Sehingga, kebijakan ini dianggap bisa merusak tatanan kehidupan sosial dan lingkungan, serta menciptakan masalah baru yang kompleks jika tidak diatur dan diawasi dengan ketat.
Menjadi Penambang Hijau
Sejak mendapatkan izin pertambangan, markas Greenpeace Indonesia berubah drastis. Poster-poster kampanye tentang pelestarian hutan dan laut kini bersanding dengan diagram pertambangan dan peta geologis. Para aktivis lingkungan, yang dahulu turun ke jalan untuk memprotes aktivitas merusak lingkungan, kini sibuk dengan helm keselamatan dan peralatan tambang.
Ironi Ekologis
Dengan izin di tangan, Greenpeace mulai mengeksploitasi lahan tambang yang luas. Mungkin mereka akan mengklaim bahwa tambang mereka adalah tambang “hijau” pertama di dunia, dengan slogan-slogan seperti “Menyelamatkan Bumi Sambil Menggali”. Lubang-lubang tambang yang dalam itu akan diklaim sebagai “reservoir karbon alami” yang membantu mengurangi jejak karbon manusia. Parodi ini menyoroti kontradiksi fundamental antara misi pelestarian dan praktik eksploitatif.
Merusak Tatanan Bernegara
Keputusan pemerintah untuk memberikan izin pertambangan kepada Greenpeace Indonesia adalah sebuah kebijakan jahiliyah yang merusak tatanan bernegara. Bukankah lucu bahwa organisasi yang seharusnya mengawasi dan menentang penghancuran alam kini menjadi pelaku utama dalam cerita tersebut?
Pemerintah mungkin akan membenarkan kebijakan ini dengan dalih pemberdayaan masyarakat dan peningkatan ekonomi lokal. Namun, di balik semua itu, tersimpan ironi pahit: ketidakmampuan negara untuk memahami peran mendasar organisasi lingkungan dan ketidakmampuan untuk menjaga integritas kebijakan publik.
Paradox antara Fungsi dan Peluang
Di satu sisi, Greenpeace Indonesia berusaha keras menjaga hutan dari penebangan liar, melawan polusi, dan mengadvokasi energi terbarukan. Di sisi lain, dengan izin pertambangan, mereka kini menggali tanah, mencemari air, dan merusak ekosistem yang mereka perjuangkan untuk lindungi.
Konflik kepentingan ini adalah sebuah paradoks yang memprihatinkan. Greenpeace Indonesia, yang dulunya adalah simbol perlawanan terhadap kerusakan lingkungan, kini menjadi bagian dari masalah. Mereka mungkin akan berusaha keras untuk menjalankan tambang mereka dengan cara yang paling ramah lingkungan, tetapi kenyataannya, pertambangan tetaplah pertambangan – sebuah aktivitas yang inheren merusak alam.
Kesimpulan: Kebijakan Jahiliyah
Kebijakan ini mencerminkan sebuah era jahiliyah modern, di mana logika dan nilai-nilai moral terbalik. Pemberian izin pertambangan kepada Greenpeace Indonesia bukan hanya sebuah lelucon, tetapi sebuah kritik tajam terhadap kegagalan pemerintah dalam memahami dan menjaga peran kritis organisasi lingkungan.
Di tengah gemuruh alat berat dan asap tambang, kita mendengar bisikan ironis dari Bumi: “Siapa yang akan melindungiku jika para pelindungku telah menjadi perusakku?” Dan di situlah letak tragedi sejati dari kebijakan ini – sebuah dunia di mana garis antara penyelamat dan perusak telah menjadi sangat kabur, hingga kita tidak lagi tahu siapa yang sebenarnya ada di pihak kita.