Damai Hari Lubis-Aktivis, Alumni 212
Peristiwa hukum yang melibatkan Gibran dalam Pemilihan Presiden 2024 didasarkan pada Putusan MK/ Mahkamah Konstitusi nomor 90/PUU-XXI/2023. Namun, langkah politik pragmatis telah mencapai puncaknya ketika Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Nomor 2/MKMK/L/11/2023, yang memecat Ketua MK Anwar Usman karena terbukti melakukan nepotisme, mengikuti putusan tersebut. Hal ini menyebabkan putusan sebelumnya batal demi hukum, sesuai dengan UU Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009, dan harus diulang dengan majelis hakim yang baru.
Meskipun demikian, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI tetap mengikutsertakan Gibran, tanpa memperhatikan implikasi dari putusan MKMK tersebut. Hal ini menyebabkan opini publik menilai Gibran sebagai “Anak Haram Konstitusi”, istilah yang merujuk pada ketidak-patuhan terhadap aturan hukum dan keadilan. Dampak dari label tersebut adalah peristiwa hukum tersebut menjadi notoire feiten notorius, di mana kecacatan hukum dan perilaku buruk Ketua MK Anwar Usman telah menjadi pengetahuan umum.
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran akan risiko penegakan hukum di masa mendatang, karena putusan yang berdampak substansial seperti “anak haram konstitusi” dapat menjadi yurisprudensi bagi hakim-hakim di masa mendatang. Ini menimbulkan keprihatinan bahwa hakim-hakim yang tidak bertindak adil atau cenderung pragmatis dapat menggunakan preceden tersebut untuk kepentingan yang tidak sejalan dengan prinsip keadilan. Oleh karena itu, solusi dan langkah-langkah antisipatif dalam hukum sangat dibutuhkan untuk mencegah kemungkinan-kemungkinan seperti ini terjadi.
Jurisprudensi cacat hukum akan ada pada hakim (pragmatis), akan Ia tuangkan dalam putusan, baik tersurat eksplisit atau implisit atau tidak, sehingga suka tidak suka, atau percaya tidak percaya analogi putusan terhadap perkara yang sejenis akan digunakan, dan khususnya telah terjadi, terkait dalam isi putusan MA. a quo perkara nomor 23 P/HUM/2024, MA menyatakan merubah atau merevisi Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan KPU RI (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020 terkait batasan usia peserta pilkada dari 30 tahun menjadi 25 tahun, sehingga bila Kaesang bin Joko Widodo ingin menjadi peserta kontestan pemilu pilkada di 2024, Ia telah memenuhi persyaratan.
Sehingga pertimbangan hukum a quo MA Nomor 23 P/HUM/2024 dapat dan boleh diyakini terinspirasi dan mengacu kepada JR/ judicial review di MK Jo. Putusan perkara a quo nomor 90/PUU-XXI/2023 yang notoire feiten notorius atau sepengetahuan umum sudah terbukti cacat hukum Jo. Dipecatnya Anwar Usman, serta selebihnya subtansi objek perkara kedua materi perkara sejenis yakni mengenai batas umur dan demi keikutsertaan dalam pemilu (pilpres dan pilkada). Dan hakim dalam hakekat mencari dan menemukan keadilan memang halal mengutip jurisprudensi atau sebaliknya tidak mau mengutip, karena profesi hakim yang merdeka, mandiri dan serta objektif dan bebas dari intervensi dalam membuat putusan, asalkan pro justicia atau demi hukum dan berkeadilan.
Bagi hakim yang jujur, bersih dan profesional dan proporsional, yang mengetahui adanya yurisprudensi sesat tersebut dapat meluruskan hukum melalui putusan yang berkeadilan, justru melahirkan jurisprudensi baru yang bertentangan dan mengenyampingkan yurisprudensi bermasalah (putusan yang melahirkan anak haram konstitusi).
Kenyataannya ? Notoire feiten notorius, putusan MK dengan historis hukum yang populer dengan istilah GIBRAN ANAK HARAM KONSTITUSI JILID SATU namun kini terindikasi, bakal ada embrio-nya melalui ANAK HARAM KONSTITUSI JILID DUA yaitu KAESANG Dan ironisnya kedua subjek hukumnya merupakan putra Joko Widodo Presiden RI ke-8.
Penyebab Lahirnya Anak Haram Konstitusi
Adapun kehadiran anak haram konstitusi, disebabkan faktor nihilnya fungsi hukum, karena unsur-unsur penegakan hukum oleh yudikatif, aparatur eksekutif yang berwenang, utamanya KPU yang justru melegitimasi Gibran dalam kontestan pilpres 02 dan legislatif, serta termasuk publik tidak maksimal, atau hanya sekedarnya menggunakan hak peran serta masyarakat sebagai alat sosial kontrol terhadap perilaku pejabat publik atau penyelenggara negara.
Oleh karenanya gejala-gejala perilaku sang tidak menunjukan role model dalam bentuk penyalahgunaan kewenangan dan atau kekuasaan atau kelalaian dan atau pembiaran yang dilakukan oleh yudikatif, eksekutif dan legislatif, faktor penyebab utamanya justru adalah peran sosial kontrol publik yang minim terhadap para pejabat publik yang kontras/ kontradiktif dengan tupoksi yang mereka miliki. Sehingga para pejabat publik dan atau para penyelenggara negara terbiasa melanggar ketentuan sistim hukum yang berlaku (rule of law).
Selain dan selebihnya perilaku curang penguasa dengan segala ke-edanan dan praktek suka-suka yang sengaja mereka lakukan untuk dan demi kepentingan mempertahankan kursi kekuasaan dan hedonism pribadi dan keluarga serta kroni-kroni.
Dampak Terburuk Yurisprudensi Cacat Hukum Dan Kelangsungan Negara Kesatuan NKRI
Implikasi akibat Implementasi jurisprudensi bodong, adalah akan menciptakan politik rajalela, republik indonesia yang presidensial namun akan bergaya monarki tipu-tipu, Gibran dan Kaesang tidak mustahil dapat menjadi bakal calon pasangan presiden dan wakil presiden atau keduanya bakal.menjadi capres dengan pasangan, masing-masing para ipar atau para istri dari capres- capres.
Solusi Sesuai Semata Teori- Asas Hukum
Semestinya masyarakat, jika menemukan pelanggaran yang dilakukan oleh KPU. selaku penyelenggara Pemilu, harus melakukan penetrasi-penetrasi secara “radikal dalam bentuk berbagai model ‘gerakan moral melalui aksi protes atau unjuk rasa’ dengan kekuatan frontal melalui massa dengan jumlah yang mesti extra ordinary. Hal penetrasi atau pressure moral ini, merupakan implementasi dan representatif wujud hak rakyat yang berdaulat, dan gerakan massa ini adalah hal yang konstitusional.
Terlebih missi gerakan moral ini, selain hak melaksanakan peran serta masyarakat sebagai fungsi alat kontrol sesuai perintah sistim hukum dan perundangan-undangan, bukan hanya ditujukan kepada KPU. Namun juga kepada perilaku pejabat publik yang melanggar dan transparansi- arogansi melakukan kecurangan, tidak berlaku sportif, harus tidak keberpihakan, tidak cawe-cawe, sehingga gerakan moral ini sebagai alat pemaksa agar KPU dan seluruh aparatur penyelenggara pemilu pilpres, melaksanakan hak dan tanggungjawab hukumnya atau kewajibannya diantaranya yang utama, harus berlaku jurdil, bebas, umum langsung dan rahasia.
Seyogyanya KPU. Harus dipaksa mencoret nama Gibran, ketika perintah hukum Jo. UU RI. No. 48 Tahun 2009. Tentang Kekuasaan Kehakiman untuk melakukan persidangan ulang terkait batasan usia 40 minimal, tidak dilaksanakan oleh MK. Jo. Putusan perkara JR. No. 90 a quo, Jo.putusan MKMK. yang dibatalkan
Maka ketika para eksekutif dan legislatif yang mewakili kepentingan suara rakyat serta KPU selaku kepanjangan tangan eksekutif dan MK. Sebagai para hakim yang berkerja sebagai kunci tegaknya hukum dan kepastian hukum serta sebagai kelompok dari kumpulan juru keadilan, namun sengaja melalaikan amanah perintah konstitusi, disinilah puncak momentum sentral peran serta masyarakat dalam melaksanakan sistim hukum yang harus totalitas dan maksimal dilakukan, sampai perintah hukum dijalankan oleh MK dan oleh KPU.
Selanjutnya kembali terhadap istilah anak haram konstitusi yang berasal dari kalangan masyarakat hukum, adalah selaras dengan adagium yang menyatakan, “hukum tanpa moral, adalah sia- sia belaka” maka adagium anak haram konstitusi ini pure sebuah kebenaran absolut
Sehingga tentunya berkaca dengan putusan MKMK a quo perihal PEMBATALAN PUTUSAN YANG FINAL AND BINDING Jo. Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 berdasarkan fungsi hukum positif, harus direalisasikan serta diberlakukan sesuai ketentuan UU. RI No. 48 Tahun 1999. Bahkan hakim Anwar Usman (paman Gibran dan dan Kaesang Ipar Jokowi) dan majelis hakim perkara MK. No. 90 Tahun 2023 aquo, harus diproses hukum, bahkan dapat di pidana penjara, karena terbukti berdasarkan temuan hukum telah melakukan praktik nepotisme, berdasarkan UU. Nomor 28 Tahun 1999 Jo. Putusan MKMK. Jo. Vide Pemecatan Anwar Usman dari hakim palu dan sebagai Ketua MK. .
Hal perspektif hukum tentang kekhawatiran “jurisprudensi anak haram konstitusi” berkelanjutan. Maka solusi adalah hal yang bersifat prinsip tentunya.
Antisipatif Langkah Pertama
Penting untuk segera mengakhiri stigmatisasi yang mengelilingi istilah “Anak Haram Konstitusi” dalam babak satu dan dua, karena hal ini tidak hanya merusak kepercayaan pada keadilan hukum, tetapi juga dapat mengarah pada penurunan wibawa hukum dan membawa konsekuensi serius bagi masa depan bangsa. Oleh karena itu, langkah pertama yang perlu diambil adalah memperkuat eksistensi istilah ini dalam konteks hukum nasional dengan menyatukannya dalam kamus hukum atau adagium hukum, sebagaimana yang dilakukan dengan istilah “Jas Merah”, sebagai tanda penghormatan terhadap sejarah hukum yang brutal dan morald hazard pada masa pemerintahan Presiden Jokowi.
Antisipatif Langkah Kedua
Dalam menghadapi bahaya potensial jika istilah “Anak Haram Konstitusi” dijadikan yurisprudensi, penting bagi masyarakat untuk memiliki sudut pandang hukum yang jelas dan menerapkan teori asas “mala in se”. Teori ini, dikemukakan oleh Jeremy Bentham, menyatakan bahwa tindakan yang tergolong mala in se, atau jahat secara bawaan, tidak dapat diubah oleh waktu atau tempat, dan selalu dianggap sebagai perbuatan jahat yang dilarang oleh hukum. Oleh karena itu, perbuatan Anwar Usman, yang terbukti melakukan nepotisme dan melanggar Undang-Undang Pemilu, harus diperlakukan sebagai kejahatan yang serius. Nepotisme yang dilakukannya bukan hanya pelanggaran etik atau konstitusi, tetapi juga merupakan tindakan kriminal yang berdampak terus menerus terhadap konstitusi dan keadilan. Implikasinya, Anwar Usman dapat dikenai pidana penjara sesuai dengan Pasal 22 UU No. 28 Tahun 1999. Selain itu, perbuatan tersebut juga merupakan pelanggaran terhadap etika dan moralitas yang seharusnya dijunjung tinggi oleh para pejabat publik.
Langkah-langkah antisipatif ini penting untuk mencegah kontaminasi yurisprudensi yang salah, seperti Putusan MK 90/PUU-XXI/2023, yang dapat membuka pintu bagi tindakan yang tidak adil dan berpotensi merugikan banyak pihak. Dalam konteks ini, melibatkan partisipasi masyarakat dalam menegakkan keadilan hukum melalui “turun rame-rame” menjadi suatu metode yang efektif. Melalui gerakan ini, masyarakat dapat menuntut pertanggungjawaban para pemimpin yang terlibat dalam perilaku inkonstitusional dan nepotisme, serta menekankan perlunya perubahan kepemimpinan yang progresif dan adil. Dengan demikian, langkah-langkah antisipatif ini diharapkan dapat membawa perubahan positif dalam sistem hukum dan menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat.